222
Jalan Golongan Yang Selamat (Bagian 40 – 46)
BAGIAN 40
BERDIRI YANG DIANJURKAN
Banyak hadits shahih, dan perilaku sahabat yang menunjukkan dibolehkannya berdiri untuk menyambut orang yang datang. Di antara hadits-hadits tersebut adalah:
1. “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam berdiri menyambut puterinya Fathimah, jika ia datang menghadap kepada beliau. Sebaliknya, Fathimah juga berdiri menyambut ayahandanya, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam jika beliau datang. Berdiri seperti ini dibolehkan dan dianjurkan. Karena ia adalah berdiri untuk menyambut tamu dan memuliakannya. Bahkan hal itu merupa-kan perwujudan dari sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam,
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.” (Muttafaq ‘alaih)
2. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
“Berdirilah (untuk memberi pertolongan) pemimpin kalian.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat lain,
“Kemudian turunkanlah!” (Hadits hasan)
Latar belakang hadits di atas adalah sehubungan dengan Sa’ad Radhiallaahu anhu , pemimpin para sahabat Anshar yang terluka. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam memintanya agar ia memberi putusan hukum dalam perkara orang Yahudi. Maka Sa’ad pun mengendarai himar (keledai) . Ketika sampai (di tujuan), Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam berkata kepada orang-orang Anshar,
“Berdirilah (untuk memberi pertolongan) kepada pemimpin kalian dan turunkanlah!”
Berdiri dalam situasi seperti itu adalah dianjurkan. Karena untuk menolong Sa’ad, pemimpin para sahabat Anshar yang terluka turun dari punggung keledai, sehingga tidak terjatuh. Adapun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam, beliau tidak berdiri. Demikian pula dengan sebagian sahabat yang lain.
3. Diriwayatkan, pada suatu waktu, sahabat Ka’ab bin Malik masuk masjid. Para sahabat lainnya sedang duduk. Demi melihat Ka’ab, Thalhah beranjak berdiri dan berlarian kecil untuk memberinya kabar gembira dengan taubat Ka’ab yang diterima Allah –setelah hal itu didengarnya dari Nabi– karena ia tidak ikut berjihad.
Berdiri seperti ini adalah diperbolehkan, karena untuk memberi kabar gembira kepada orang yang tengah dirundung duka. Yakni dengan mengabarkan telah diterimanya taubatnya oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala .
4. Berdiri kepada orang yang datang dari perjalanan jauh untuk menyambutnya dengan pelukan.
5. Jika kita perhatikan, maka hadits-hadits di atas memakai lafazh ” Ilaa Sayyidikum, Ilaa Thaa Hah, Ila Faatimah” . Lafazh itu menunjukkan diperbolehkannya berdiri. Berbeda halnya dengan hadits-hadits yang melarang berdiri. Hadits-hadits itu memakai lafazh ” áóÜåõ “.
Perbedaan makna antara dua lafazh itu sangat besar sekali.
” Qooma Ilaihi ” berarti, segera berdiri untuk menolong atau (untuk menyambut demi) memuliakannya. Sedangkan ” Qooma Lahu ” berarti berdiri di tempat untuk memberi penghormatan.
BAGIAN 41 – Selesai
HADITS-HADITS DHA’IF DAN MAUDHU’
Hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam ada yang shahih, hasan, dha’if (lemah), dan maudhu’ (palsu).
Dalam kitab haditsnya, Imam Muslim menyebutkan di awal kitab sesuatu yang memperingatkan tentang hadits dha’if, memilih judul: “Bab larangan menyampaikan hadits dari setiap apa yang didengar.” Berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam,
“Cukuplah seseorang sebagai pendusta, jika ia menyampaikan hadits dari setiap apa yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim, menyebutkan: “Bab larangan meriwayatkan dari orang-orang dha’if (lemah).” Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam,
“Kelak akan ada di akhir zaman segolongan manusia dari umatku yang menceritakan hadits kepadamu apa yang kamu tidak pernah mendengarnya, tidak juga nenek moyang kamu, maka waspadalah dan jauhilah mereka.” (HR. Muslim)
Imam lbnu Hibban dalam kitab Shahih-nya menyebutkan: “Pasal; Peringatan terhadap wajibnya masuk Neraka orang yang menisbatkan sesuatu kepada Al-Mushthafa (Muhammad), sedangkan dia tidak mengetahui kebenarannya.” Selanjutnya beliau menyebutkan dasarnya, yaitu sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam,
“Barangsiapa berbohong atasku (dengan mengatakan) sesuatu yang tidak aku katakan, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di Neraka.” (HR. Ahmad, hadits hasan)
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam memperingatkan dari hadits-hadits maudhu’ (palsu), dengan sabdanya,
“Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di Neraka.” (Muttafaq ‘alaih)
Tetapi sungguh amat disayangkan, kita banyak mendengar dari para syaikh hadits-hadits maudhu’ dan dha’if untuk menguatkan madzhab dan kepercayaan mereka. Di antaranya seperti hadits,
“Perbedaan (pendapat) di kalangan umatku adalah rahmat.”
Al-Allamah lbnu Hazm berkata, “ltu bukan hadits, bahkan ia hadits batil dan dusta, sebab jika perbedaan pendapat (khilafiyah) adalah rahmat, niscaya kesepakatan (ittifaq ) adalah sesuatu yang dibenci. Hal yang tak mungkin diucapkan oleh seorang muslim.”
Termasuk hadits makdzub (dusta) adalah:
“Belajarlah (ilmu) sihir, tetapi jangan mengamalkannya.”
“Seandainya salah seorang di antara kamu mempercayai (meski) terhadap sebongkah batu, niscaya akan bermanfaat baginya.”
Dan masih panjang lagi deretan hadits-hadits maudhu’ lainnya.
Adapun hadits yang kini banyak beredar:
“Jauhkanlah masjidku dari anak-anak kecil dan orang-orang gila.”
Menurut Ibnu Hajar adalah hadits dha’if, lemah. Ibnu Al-Jauzi berkata, hadits itu tidak shahih. Sedang Abdul Haq mengomentari sebagai hadits yang tidak ada sumber asalnya.
Penolakan terhadap hadits tersebut lebih dikuatkan lagi oleh ada-nya hadits shahih dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam :
“Ajarilah anak-anakmu shalat, saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkannya, ketika mereka berusia sepuluh tahun.” (HR. Ahmad, hadits shahih)
Mengajar shalat tersebut dilakukan di dalam masjid, sebagaimana Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajar para sahabatnya. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengajar dari atas mimbar, sedang anak-anak ketika itu berada di masjid Rasul, bahkan hingga mereka yang belum mencapai baligh.
Tidak cukup pada akhir setiap hadits kita mengatakan, “Hadits riwayat At-Tirmidzi” atau lainnya. Sebab kadang-kadang, beliau juga meriwayatkan hadits-hadits yang tidak shahih . Karena itu, kita harus menyebutkan derajat hadits: shahih, hasan atau dha’if. Adapun meng-akhiri hadits dengan mengatakan, “Hadits riwayat Al-Bukhari atau Muslim” maka hal itu cukup. Karena hadits-hadits yang diriwayatkan oleh kedua imam tersebut senantiasa shahih.
Hadits dha’if tidak dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam , karena adanya cacat dalam sanad (jalan periwayatan) atau matan (isi hadits).
Jika salah seorang dari kita pergi ke pasar, lalu melihat daging yang gemuk segar dan daging yang kurus lagi kering, tentu ia akan memilih yang gemuk segar dan meninggalkan daging yang kurus lagi kering.
Islam memerintahkan agar dalam berkurban kita memilih bina-tang sembelihan yang gemuk dan meninggalkan yang kurus. Jika de-mikian, bagaimana mungkin diperbolehkan mengambil hadits dha’if dalam masalah agama, apalagi masih ada hadits yang shahih…?
Para ulama hadits memberi ketentuan, bahwa hadist dha’if tidak boleh dikatakan dengan lafazh: Qoola Rasuulullaahi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda), karena lafazh itu adalah untuk hadits shahih. Tetapi hadits dha’if itu harus diucapkan dengan lafazh “ruwiya” (diriwayatkan), dengan shighat majhul (tidak diketahui dari siapa). Hal itu untuk membedakan antara hadits dha’if dengan hadits shahih.
Sebagian ulama kontemporer berpendapat, hadits dha’if itu boleh diambil dan diamalkan, tetapi harus memenuhi kriteria berikut:
1. Hadits itu menyangkut masalah fadha’ilul a’maal (keutamaan-keutamaan amalan)
2. Hendaknya berada di bawah pengertian hadits shahih.
3. Hadits itu tidak terlalu amat lemah (dha’if).
4. Hendaknya tidak mempercayai ketika mengamalkan, bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam .
Tetapi, saat ini orang-orang tak lagi mematuhi batasan syarat-syarat tersebut, kecuali sebagian kecil dari mereka.
BAGIAN 42
CONTOH HADITS MAUDHU’
1. Hadits maudhu’ (palsu):
“Sesungguhnya Allah menggenggam segenggam dari cahaya-Nya, lalu berfirman kepadanya, ‘Jadilah Muhammad’.”
2. Hadits maudhu’:
“Wahai Jabir, bahwa yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah cahaya Nabimu.”
3. Hadits tidak ada sumber asalnya:
“Bertawassullah dengan martabat dan kedudukanku.”
4. Hadits maudhu’. Demikian menurut AI-Hafizh Adz-Dzahabi:
“Barangsiapa yang menunaikan haji kemudian tidak berziarah kepadaku, maka dia telah bersikap kasar kepadaku.”
5. Hadits tidak ada sumber asalnya. Demikian menurut Al-Hafizh Al-‘lraqi.
“Pembicaraan di masjid memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”
6. Hadits maudhu’. Demikian menurut AI-Ashfahani:
“Cinta tanah air adalah sebagian daripada iman.”
7. Hadits maudhu’, tidak ada sumber asalnya:
“Berpegang teguhlah kamu dengan agama orang-orang lemah.”
8. Hadits tidak ada sumber asalnya:
“Barangsiapa yang mengetahui dirinya, maka dia telah menge-tahui Tuhannya.”
9. Hadis tidak ada asal sumbernya:
“Aku adalah harta yang tersembunyi.”
10. Hadits maudhu’:
“Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata, ‘Wahai Tuhan-ku, aku memohon kepadaMu dengan hak Muhammad agar Eng-kau mengampuni padaku.”
11. Hadits maudhu’:
“Semua manusia (dalam keadaan) mati kecuali para ulama. Se-mua ulama binasa kecuali mereka yang mengamalkan (Ilmunya). Semua orang yang mengamalkan ilmunya tenggelam, kecuali me-reka yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas itu berada dalam bahaya yang besar.”
12. Hadits maudhu’. Lihat Silsilatul Ahaadits Adh-Dha’iifah, hadits no. 58:
“Para sahabatku laksana bintang-bintang. Siapa pun dari mere-ka yang engkau teladani, niscaya engkau akan mendapat petun-juk.”
13. Hadits batil. Lihat Silsilatul Ahaadits Adh-Dhaiifah, no. 87:
“Jika khatib telah naik mimbar, maka tak ada lagi shalat dan perbincangan.”
14. Hadits batil. Ibnu AI-Jauzi memasukkannya dalam kelompok hadits-hadits maudhu’:
“Carilah Ilmu meskipun (sampai) di negeri Cina.”
BAGIAN 43
CARA BERZIARAH KUBUR SESUAI TUNTUTAN NABl
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, (kini) berziarahlah, agar ziarah kubur itu mengingatkanmu berbuat kebajikan.” (HR Al-Ahmad, hadits shahih)
Di antara yang perlu diperhatikan dalam ziarah kubur adalah:
1. Ketika masuk, sunnah menyampaikan salam kepada mereka yang telah meninggal dunia. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengajarkan kepada para sahabat agar ketika masuk kuburan membaca,
“Semoga keselamatan dicurahkan atasmu wahai para penghuni kubur, dari orang-orang yang beriman dan orang-orang Islam. Dan kami, jika Allah menghendaki, akan menyusulmu. Aku memohon kepada Allah agar memberikan keselamatan kepada kami dan kamu sekalian (dari siksa).” (HR Muslim)
2. Tidak duduk di atas kuburan, serta tidak menginjaknya Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam :
“Janganlah kalian shalat (memohon) kepada kuburan, dan ja-nganlah kalian duduk di atasnya.” (HR. Muslim)
3. Tidak melakukan thawaf sekeliling kuburan dengan niat untuk ber-taqarrub (ibadah). Karena thawaf hanyalah dilakukan di sekeliling Ka’bah. Allah berfirman,
“Dan hendaklah mereka melakukan tha’waf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah, Ka’bah).” (AI-Hajj: 29)
4. Tidak membaca Al-Qur’an di kuburan. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Janganlah menjadikan rumah kalian sebagai kuburan. Sesung-guhnya setan berlari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim)
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa kuburan bukanlah tempat membaca Al-Qur’an. Berbeda halnya dengan rumah. Adapun hadits-hadits tentang membaca Al-Qur’an di kuburan adalah tidak shahih.
5. Tidak boleh memohon pertolongan dan bantuan kepada mayit, meskipun dia seorang nabi atau wali, sebab itu termasuk syirik besar. Allah berfirman,
“Dan janganlah kamu menyembah apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka se-sungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: l06)
Zhalim dalam ayat di atas berarti musyrik.
6. Tidak meletakkan karangan bunga atau menaburkannya di atas kuburan mayit. Karena hal itu menyerupai perbuatan orang-orang Nasrani, serta membuang-buang harta dengan tiada guna. Seandainya saja uang yang dibelanjakan untuk membeli karangan bunga itu disedekahkan kepada orang-orang fakir miskin dengan niat untuk si mayit, niscaya akan bermanfaat untuknya dan untuk orang-orang fakir miskin yang justru sangat membutuhkan uluran bantuan tersebut.”
7. Dilarang membangun di atas kuburan atau menulis sesuatu dari Al-Qur’an atau syair di atasnya. Sebab hal itu dilarang,
“Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang mengapur kuburan dan membangun di atas-nya.”
Cukup meletakkan sebuah batu setinggi satu jengkal, untuk menandai kuburan. Dan itu sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ketika meletakkan sebuah batu di atas kubur Utsman bin Mazh’un, lantas beliau bersabda,
“Aku memberikan tanda di atas kubur saudaraku.” (HR. Abu Daud, dengan sanad hasan).
BAGIAN 44
TAKLID BUTA
Allah berfirman,
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul’. Mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. ‘Dan apakah mereka akan mengikuti juga ne-nek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk…?” (AI-Maa’idah: 104)
Allah mengabarkan kepada kita tentang keadaan orang-orang musyrik, saat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada mereka, “Marilah mengikuti Al-Qur’an dan mentauhidkan Allah, serta berdo’a hanya kepada Allah semata.”
Mereka kemudian menjawab, “Cukuplah bagi kami kepercayaan nenek moyang kami.” Maka Al-Qur’an membantah mereka bahwa nenek moyang mereka itu adalah bodoh, tidak mengetahui sesuatu serta tidak mendapat petunjuk kepada jalan yang benar.
Mayoritas umat Islam, kini terjebak dalam taklid buta ini. Pernah suatu kali, penulis mendengar ceramah. Penceramah itu mengatakan, “Apakah nenek moyang kalian mengetahui bahwa Allah mempunyai tangan…?”
Ia berdalih dengan kebodohan nenek moyang, untuk meng-ingkari. Padahal Al-Qur’an telah menegaskan hal tersebut, sebagaimana firmanNya tentang kisah penciptaan Adam AlaihisSallam ,
“Hai lblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tanganKu…?” (Shaad: 75)
Tetapi, tidaklah tangan para makhluk menyerupai tanganNya, Allah berfirman,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuraa: 11)
Sekarang, ada lagi bentuk taklid lain yang lebih berbahaya. Yaitu taklid (ikut-ikutan) orang-orang kafir dalam kemaksiatan, buka-bukaan aurat, mode pakaian ketat, pakaian mini dan sebagainya.
Alangkah baiknya manakala mereka itu kita ikuti dalam pene-muan-penemuan mereka yang bermanfaat. Seperti dalam hal pembu-atan pesawat terbang atau bentuk ilmu dan teknologi lainnya.
Kebanyakan manusia, jika engkau mengatakan padanya, “Allah berfirman, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda”, maka mereka berucap, “Syaikh saya berkata”.
Apakah mereka tidak mendengar firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya.” (Al-Hujurat: 1)
Maksudnya, janganlah kalian mendahulukan ucapan seseorang atas firman Allah dan sabda RasulNya.
Ibnu Abbas berkata, “Hampir-hampir saja diturunkan atas kalian batu dari langit. Aku mengatakan kepada kalian, ‘Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, tetapi kalian mengatakan, ‘Abu Bakar berkata, Umar berkata’.”
Seorang pujangga menyenandungkan syair yang mengingkari orang-orang yang berdalih dengan ucapan para syaikh mereka. Ia berkata,
“Aku katakan padamu, ‘Allah berfirman, RasulNya bersabda’,lalu kamu menjawab, ‘Syaikh saya telah berkata …’.”
BAGIAN 45
JANGAN MENOLAK KEBENARAN
Allah telah mengutus segenap rasulNya kepada umat manusia. Allah memerintahkan mereka agar menyeru manusia beribadah kepada Allah dan mengesakanNya. Tetapi sebagian besar umat-umat itu mendustakan dakwah para rasul. Mereka menentang dan menolak kebenaran yang kepadanya mereka diseru, yakni tauhid. Oleh karena itu kesudahan mereka adalah kehancuran dan kebinasaan.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidak masuk Surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebe-rat atom rasa sombong.”
Kemudian beliau bersabda,
“Sombong yaitu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Karenanya, setiap mukmin tidak boleh menolak kebenaran dan nasihat, sehingga menyerupai orang-orang kafir, juga agar tidak ter-jerumus ke dalam sifat sombong yang bisa menghalanginya masuk Surga. Maka hikmah (kebijaksanaan) adalah harta orang mukmin yang hilang. Di mana saja ditemukan, maka ia akan mengambil dan memungutnya.
Maka dari itu, kita wajib menerima kebenaran dari siapa saja, bahkan sampai dari setan sekalipun.
Tersebut dalam riwayat, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menjadikan Abu Hurairah sebagai penjaga Baitul Maal.
Suatu hari, datang seseorang untuk mencuri, tetapi Abu Hurairah segera mengetahui, sehingga menangkap basah pencuri tersebut. Pencuri itu lalu mengharap, menghiba dan mengadu kepada Abu Hurairah, bahwa ia orang yang amat lemah dan miskin. Abu Hurairah tak tega, sehingga melepas pencuri tersebut.
Tetapi pencuri itu kembali lagi melakukan aksinya pada kali kedua dan ketiga. Abu Hurairah kemudian menangkapnya, seraya mengancam, “Sungguh, aku akan mengadukan halmu kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam .”
Orang itu ketakutan dan berkata menghiba, “Biarkanlah aku, jangan adukan perkara ini kepada Rasulullah! Jika kau penuhi, sungguh aku akan mengajarimu suatu ayat dari Al-Qur’an, yang jika engkau membacanya, niscaya setan tak akan mendekatimu.” Abu Hurairah bertanya, “Ayat apakah itu?”
Ia menjawab, “Ia adalah ayat Kursi.” Lalu Abu Hurairah melepas kembali pencuri tersebut. Selanjutnya Abu Hurairah menceritakan kepada Rasulullah apa yang ia saksikan. Lalu Rasulullah bertanya padanya, “Tahukah kamu, siapakah orang yang berbicara tersebut? Sesungguhnya ia adalah setan. Ia berkata benar padahal dia adalah pendusta.” (HR. Al-Bukhari).
BAGIAN 46
SYAIR AQIDAH MUSLIM
Jika pengikut Ahmad adalah wahabi,maka aku akui bahwa diriku wahabi.
Kutiadakan sekutu bagi Tuhan,maka tak ada Tuhan bagiku selain Yang Maha Esa dan Maha Pemberi.
Tak ada kubah yang bisa diharap,tidak pula berhala, dan kuburan tidaklah sebab di antara penyebab.
Tidak, sama sekali tidak, tidak pula batu, pohon, mata air atau patung-patung.
Juga, aku tidak mengalungkan jimat,temali, rumah kerang atau taring,
untuk mengharap manfaat, atau menolak bala
Allah yang memberiku manfaat dan menolak bahaya dariku.
Adapun bid’ah dan segala perkara yang diada-adakan dalam agama,
maka orang-orang berakal mengingkarinya.
Aku berharap, semoga ku tak kan mendekatinya tidak pula rela secara agama,
ia tidak benar.
Dan aku berlindung dari Jahmiyah Aku mencela perselisihan setiap ahli takwil dan peragu-ragu, serta yang mengingkari istawa Tentangnya, cukuplah bagiku teladan dari ucapan para pemimpin yang mulia; Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Ibnu Hambal; orang-orang yang bertakwa dan ahli bertaubat.
Dan pada zaman kita sekarang ini, ada orang yang mempercayai, seraya berteriak atasnya;
Mujassim wahabi Telah ada hadits tentang keterasingan Islam,maka hendaknya para pencinta menangis,karena terasing dan orang-orang yang dicintainya.
Allah yang melindungi kita,yang menjaga agama kita,dari kejahatan setiap pembangkang dan pencela.
Dia menguatkan agamaNya yang lurus,dengan sekelompok orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah dan kitabNya.
Mereka tidak mengambil hukum lewat pendapat dan kias, Sedang kepada para ahli wahyu, mereka sebaik-baik orang yang kembali.
Sang Nabi terpilih telah mengabarkan tentang mereka, bahwa mereka adalah orang-orang asing, di tengah keluarga dan kawan pergaulannya.
Mereka menapaki jalan orang-orang yang menuju petunjuk, dan berjalan di atas jalan mereka, dengan benar.
Karena itu, orang-orang yang suka berlebihan, berlari dan menjauh dari mereka.
Tapi kita berkata, tidak aneh.
Telah lari pula orang-orang yang diseru oleh sebaik-baik manusia, bahkan menjulukinya sebagai tukang (ahli) sihir lagi pendusta.
Padahal mereka mengetahui, betapa beliau seorang yang teguh memegang amanah dan janji, mulia dan jujur menepati.
Semoga keberkahan atasnya, Selama angin masih berhembus, juga atas segala keluarga dan semua sahabatnya.”
(Dikutip dari terjemah kitab Jalan Golongan Yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
BERDIRI YANG DIANJURKAN
Banyak hadits shahih, dan perilaku sahabat yang menunjukkan dibolehkannya berdiri untuk menyambut orang yang datang. Di antara hadits-hadits tersebut adalah:
1. “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam berdiri menyambut puterinya Fathimah, jika ia datang menghadap kepada beliau. Sebaliknya, Fathimah juga berdiri menyambut ayahandanya, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam jika beliau datang. Berdiri seperti ini dibolehkan dan dianjurkan. Karena ia adalah berdiri untuk menyambut tamu dan memuliakannya. Bahkan hal itu merupa-kan perwujudan dari sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam,
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.” (Muttafaq ‘alaih)
2. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
“Berdirilah (untuk memberi pertolongan) pemimpin kalian.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat lain,
“Kemudian turunkanlah!” (Hadits hasan)
Latar belakang hadits di atas adalah sehubungan dengan Sa’ad Radhiallaahu anhu , pemimpin para sahabat Anshar yang terluka. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam memintanya agar ia memberi putusan hukum dalam perkara orang Yahudi. Maka Sa’ad pun mengendarai himar (keledai) . Ketika sampai (di tujuan), Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam berkata kepada orang-orang Anshar,
“Berdirilah (untuk memberi pertolongan) kepada pemimpin kalian dan turunkanlah!”
Berdiri dalam situasi seperti itu adalah dianjurkan. Karena untuk menolong Sa’ad, pemimpin para sahabat Anshar yang terluka turun dari punggung keledai, sehingga tidak terjatuh. Adapun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam, beliau tidak berdiri. Demikian pula dengan sebagian sahabat yang lain.
3. Diriwayatkan, pada suatu waktu, sahabat Ka’ab bin Malik masuk masjid. Para sahabat lainnya sedang duduk. Demi melihat Ka’ab, Thalhah beranjak berdiri dan berlarian kecil untuk memberinya kabar gembira dengan taubat Ka’ab yang diterima Allah –setelah hal itu didengarnya dari Nabi– karena ia tidak ikut berjihad.
Berdiri seperti ini adalah diperbolehkan, karena untuk memberi kabar gembira kepada orang yang tengah dirundung duka. Yakni dengan mengabarkan telah diterimanya taubatnya oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala .
4. Berdiri kepada orang yang datang dari perjalanan jauh untuk menyambutnya dengan pelukan.
5. Jika kita perhatikan, maka hadits-hadits di atas memakai lafazh ” Ilaa Sayyidikum, Ilaa Thaa Hah, Ila Faatimah” . Lafazh itu menunjukkan diperbolehkannya berdiri. Berbeda halnya dengan hadits-hadits yang melarang berdiri. Hadits-hadits itu memakai lafazh ” áóÜåõ “.
Perbedaan makna antara dua lafazh itu sangat besar sekali.
” Qooma Ilaihi ” berarti, segera berdiri untuk menolong atau (untuk menyambut demi) memuliakannya. Sedangkan ” Qooma Lahu ” berarti berdiri di tempat untuk memberi penghormatan.
BAGIAN 41 – Selesai
HADITS-HADITS DHA’IF DAN MAUDHU’
Hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam ada yang shahih, hasan, dha’if (lemah), dan maudhu’ (palsu).
Dalam kitab haditsnya, Imam Muslim menyebutkan di awal kitab sesuatu yang memperingatkan tentang hadits dha’if, memilih judul: “Bab larangan menyampaikan hadits dari setiap apa yang didengar.” Berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam,
“Cukuplah seseorang sebagai pendusta, jika ia menyampaikan hadits dari setiap apa yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim, menyebutkan: “Bab larangan meriwayatkan dari orang-orang dha’if (lemah).” Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam,
“Kelak akan ada di akhir zaman segolongan manusia dari umatku yang menceritakan hadits kepadamu apa yang kamu tidak pernah mendengarnya, tidak juga nenek moyang kamu, maka waspadalah dan jauhilah mereka.” (HR. Muslim)
Imam lbnu Hibban dalam kitab Shahih-nya menyebutkan: “Pasal; Peringatan terhadap wajibnya masuk Neraka orang yang menisbatkan sesuatu kepada Al-Mushthafa (Muhammad), sedangkan dia tidak mengetahui kebenarannya.” Selanjutnya beliau menyebutkan dasarnya, yaitu sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam,
“Barangsiapa berbohong atasku (dengan mengatakan) sesuatu yang tidak aku katakan, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di Neraka.” (HR. Ahmad, hadits hasan)
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam memperingatkan dari hadits-hadits maudhu’ (palsu), dengan sabdanya,
“Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di Neraka.” (Muttafaq ‘alaih)
Tetapi sungguh amat disayangkan, kita banyak mendengar dari para syaikh hadits-hadits maudhu’ dan dha’if untuk menguatkan madzhab dan kepercayaan mereka. Di antaranya seperti hadits,
“Perbedaan (pendapat) di kalangan umatku adalah rahmat.”
Al-Allamah lbnu Hazm berkata, “ltu bukan hadits, bahkan ia hadits batil dan dusta, sebab jika perbedaan pendapat (khilafiyah) adalah rahmat, niscaya kesepakatan (ittifaq ) adalah sesuatu yang dibenci. Hal yang tak mungkin diucapkan oleh seorang muslim.”
Termasuk hadits makdzub (dusta) adalah:
“Belajarlah (ilmu) sihir, tetapi jangan mengamalkannya.”
“Seandainya salah seorang di antara kamu mempercayai (meski) terhadap sebongkah batu, niscaya akan bermanfaat baginya.”
Dan masih panjang lagi deretan hadits-hadits maudhu’ lainnya.
Adapun hadits yang kini banyak beredar:
“Jauhkanlah masjidku dari anak-anak kecil dan orang-orang gila.”
Menurut Ibnu Hajar adalah hadits dha’if, lemah. Ibnu Al-Jauzi berkata, hadits itu tidak shahih. Sedang Abdul Haq mengomentari sebagai hadits yang tidak ada sumber asalnya.
Penolakan terhadap hadits tersebut lebih dikuatkan lagi oleh ada-nya hadits shahih dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam :
“Ajarilah anak-anakmu shalat, saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkannya, ketika mereka berusia sepuluh tahun.” (HR. Ahmad, hadits shahih)
Mengajar shalat tersebut dilakukan di dalam masjid, sebagaimana Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajar para sahabatnya. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengajar dari atas mimbar, sedang anak-anak ketika itu berada di masjid Rasul, bahkan hingga mereka yang belum mencapai baligh.
Tidak cukup pada akhir setiap hadits kita mengatakan, “Hadits riwayat At-Tirmidzi” atau lainnya. Sebab kadang-kadang, beliau juga meriwayatkan hadits-hadits yang tidak shahih . Karena itu, kita harus menyebutkan derajat hadits: shahih, hasan atau dha’if. Adapun meng-akhiri hadits dengan mengatakan, “Hadits riwayat Al-Bukhari atau Muslim” maka hal itu cukup. Karena hadits-hadits yang diriwayatkan oleh kedua imam tersebut senantiasa shahih.
Hadits dha’if tidak dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam , karena adanya cacat dalam sanad (jalan periwayatan) atau matan (isi hadits).
Jika salah seorang dari kita pergi ke pasar, lalu melihat daging yang gemuk segar dan daging yang kurus lagi kering, tentu ia akan memilih yang gemuk segar dan meninggalkan daging yang kurus lagi kering.
Islam memerintahkan agar dalam berkurban kita memilih bina-tang sembelihan yang gemuk dan meninggalkan yang kurus. Jika de-mikian, bagaimana mungkin diperbolehkan mengambil hadits dha’if dalam masalah agama, apalagi masih ada hadits yang shahih…?
Para ulama hadits memberi ketentuan, bahwa hadist dha’if tidak boleh dikatakan dengan lafazh: Qoola Rasuulullaahi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda), karena lafazh itu adalah untuk hadits shahih. Tetapi hadits dha’if itu harus diucapkan dengan lafazh “ruwiya” (diriwayatkan), dengan shighat majhul (tidak diketahui dari siapa). Hal itu untuk membedakan antara hadits dha’if dengan hadits shahih.
Sebagian ulama kontemporer berpendapat, hadits dha’if itu boleh diambil dan diamalkan, tetapi harus memenuhi kriteria berikut:
1. Hadits itu menyangkut masalah fadha’ilul a’maal (keutamaan-keutamaan amalan)
2. Hendaknya berada di bawah pengertian hadits shahih.
3. Hadits itu tidak terlalu amat lemah (dha’if).
4. Hendaknya tidak mempercayai ketika mengamalkan, bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam .
Tetapi, saat ini orang-orang tak lagi mematuhi batasan syarat-syarat tersebut, kecuali sebagian kecil dari mereka.
BAGIAN 42
CONTOH HADITS MAUDHU’
1. Hadits maudhu’ (palsu):
“Sesungguhnya Allah menggenggam segenggam dari cahaya-Nya, lalu berfirman kepadanya, ‘Jadilah Muhammad’.”
2. Hadits maudhu’:
“Wahai Jabir, bahwa yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah cahaya Nabimu.”
3. Hadits tidak ada sumber asalnya:
“Bertawassullah dengan martabat dan kedudukanku.”
4. Hadits maudhu’. Demikian menurut AI-Hafizh Adz-Dzahabi:
“Barangsiapa yang menunaikan haji kemudian tidak berziarah kepadaku, maka dia telah bersikap kasar kepadaku.”
5. Hadits tidak ada sumber asalnya. Demikian menurut Al-Hafizh Al-‘lraqi.
“Pembicaraan di masjid memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”
6. Hadits maudhu’. Demikian menurut AI-Ashfahani:
“Cinta tanah air adalah sebagian daripada iman.”
7. Hadits maudhu’, tidak ada sumber asalnya:
“Berpegang teguhlah kamu dengan agama orang-orang lemah.”
8. Hadits tidak ada sumber asalnya:
“Barangsiapa yang mengetahui dirinya, maka dia telah menge-tahui Tuhannya.”
9. Hadis tidak ada asal sumbernya:
“Aku adalah harta yang tersembunyi.”
10. Hadits maudhu’:
“Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata, ‘Wahai Tuhan-ku, aku memohon kepadaMu dengan hak Muhammad agar Eng-kau mengampuni padaku.”
11. Hadits maudhu’:
“Semua manusia (dalam keadaan) mati kecuali para ulama. Se-mua ulama binasa kecuali mereka yang mengamalkan (Ilmunya). Semua orang yang mengamalkan ilmunya tenggelam, kecuali me-reka yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas itu berada dalam bahaya yang besar.”
12. Hadits maudhu’. Lihat Silsilatul Ahaadits Adh-Dha’iifah, hadits no. 58:
“Para sahabatku laksana bintang-bintang. Siapa pun dari mere-ka yang engkau teladani, niscaya engkau akan mendapat petun-juk.”
13. Hadits batil. Lihat Silsilatul Ahaadits Adh-Dhaiifah, no. 87:
“Jika khatib telah naik mimbar, maka tak ada lagi shalat dan perbincangan.”
14. Hadits batil. Ibnu AI-Jauzi memasukkannya dalam kelompok hadits-hadits maudhu’:
“Carilah Ilmu meskipun (sampai) di negeri Cina.”
BAGIAN 43
CARA BERZIARAH KUBUR SESUAI TUNTUTAN NABl
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, (kini) berziarahlah, agar ziarah kubur itu mengingatkanmu berbuat kebajikan.” (HR Al-Ahmad, hadits shahih)
Di antara yang perlu diperhatikan dalam ziarah kubur adalah:
1. Ketika masuk, sunnah menyampaikan salam kepada mereka yang telah meninggal dunia. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengajarkan kepada para sahabat agar ketika masuk kuburan membaca,
“Semoga keselamatan dicurahkan atasmu wahai para penghuni kubur, dari orang-orang yang beriman dan orang-orang Islam. Dan kami, jika Allah menghendaki, akan menyusulmu. Aku memohon kepada Allah agar memberikan keselamatan kepada kami dan kamu sekalian (dari siksa).” (HR Muslim)
2. Tidak duduk di atas kuburan, serta tidak menginjaknya Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam :
“Janganlah kalian shalat (memohon) kepada kuburan, dan ja-nganlah kalian duduk di atasnya.” (HR. Muslim)
3. Tidak melakukan thawaf sekeliling kuburan dengan niat untuk ber-taqarrub (ibadah). Karena thawaf hanyalah dilakukan di sekeliling Ka’bah. Allah berfirman,
“Dan hendaklah mereka melakukan tha’waf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah, Ka’bah).” (AI-Hajj: 29)
4. Tidak membaca Al-Qur’an di kuburan. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Janganlah menjadikan rumah kalian sebagai kuburan. Sesung-guhnya setan berlari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim)
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa kuburan bukanlah tempat membaca Al-Qur’an. Berbeda halnya dengan rumah. Adapun hadits-hadits tentang membaca Al-Qur’an di kuburan adalah tidak shahih.
5. Tidak boleh memohon pertolongan dan bantuan kepada mayit, meskipun dia seorang nabi atau wali, sebab itu termasuk syirik besar. Allah berfirman,
“Dan janganlah kamu menyembah apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka se-sungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: l06)
Zhalim dalam ayat di atas berarti musyrik.
6. Tidak meletakkan karangan bunga atau menaburkannya di atas kuburan mayit. Karena hal itu menyerupai perbuatan orang-orang Nasrani, serta membuang-buang harta dengan tiada guna. Seandainya saja uang yang dibelanjakan untuk membeli karangan bunga itu disedekahkan kepada orang-orang fakir miskin dengan niat untuk si mayit, niscaya akan bermanfaat untuknya dan untuk orang-orang fakir miskin yang justru sangat membutuhkan uluran bantuan tersebut.”
7. Dilarang membangun di atas kuburan atau menulis sesuatu dari Al-Qur’an atau syair di atasnya. Sebab hal itu dilarang,
“Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang mengapur kuburan dan membangun di atas-nya.”
Cukup meletakkan sebuah batu setinggi satu jengkal, untuk menandai kuburan. Dan itu sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ketika meletakkan sebuah batu di atas kubur Utsman bin Mazh’un, lantas beliau bersabda,
“Aku memberikan tanda di atas kubur saudaraku.” (HR. Abu Daud, dengan sanad hasan).
BAGIAN 44
TAKLID BUTA
Allah berfirman,
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul’. Mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. ‘Dan apakah mereka akan mengikuti juga ne-nek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk…?” (AI-Maa’idah: 104)
Allah mengabarkan kepada kita tentang keadaan orang-orang musyrik, saat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada mereka, “Marilah mengikuti Al-Qur’an dan mentauhidkan Allah, serta berdo’a hanya kepada Allah semata.”
Mereka kemudian menjawab, “Cukuplah bagi kami kepercayaan nenek moyang kami.” Maka Al-Qur’an membantah mereka bahwa nenek moyang mereka itu adalah bodoh, tidak mengetahui sesuatu serta tidak mendapat petunjuk kepada jalan yang benar.
Mayoritas umat Islam, kini terjebak dalam taklid buta ini. Pernah suatu kali, penulis mendengar ceramah. Penceramah itu mengatakan, “Apakah nenek moyang kalian mengetahui bahwa Allah mempunyai tangan…?”
Ia berdalih dengan kebodohan nenek moyang, untuk meng-ingkari. Padahal Al-Qur’an telah menegaskan hal tersebut, sebagaimana firmanNya tentang kisah penciptaan Adam AlaihisSallam ,
“Hai lblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tanganKu…?” (Shaad: 75)
Tetapi, tidaklah tangan para makhluk menyerupai tanganNya, Allah berfirman,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuraa: 11)
Sekarang, ada lagi bentuk taklid lain yang lebih berbahaya. Yaitu taklid (ikut-ikutan) orang-orang kafir dalam kemaksiatan, buka-bukaan aurat, mode pakaian ketat, pakaian mini dan sebagainya.
Alangkah baiknya manakala mereka itu kita ikuti dalam pene-muan-penemuan mereka yang bermanfaat. Seperti dalam hal pembu-atan pesawat terbang atau bentuk ilmu dan teknologi lainnya.
Kebanyakan manusia, jika engkau mengatakan padanya, “Allah berfirman, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda”, maka mereka berucap, “Syaikh saya berkata”.
Apakah mereka tidak mendengar firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya.” (Al-Hujurat: 1)
Maksudnya, janganlah kalian mendahulukan ucapan seseorang atas firman Allah dan sabda RasulNya.
Ibnu Abbas berkata, “Hampir-hampir saja diturunkan atas kalian batu dari langit. Aku mengatakan kepada kalian, ‘Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, tetapi kalian mengatakan, ‘Abu Bakar berkata, Umar berkata’.”
Seorang pujangga menyenandungkan syair yang mengingkari orang-orang yang berdalih dengan ucapan para syaikh mereka. Ia berkata,
“Aku katakan padamu, ‘Allah berfirman, RasulNya bersabda’,lalu kamu menjawab, ‘Syaikh saya telah berkata …’.”
BAGIAN 45
JANGAN MENOLAK KEBENARAN
Allah telah mengutus segenap rasulNya kepada umat manusia. Allah memerintahkan mereka agar menyeru manusia beribadah kepada Allah dan mengesakanNya. Tetapi sebagian besar umat-umat itu mendustakan dakwah para rasul. Mereka menentang dan menolak kebenaran yang kepadanya mereka diseru, yakni tauhid. Oleh karena itu kesudahan mereka adalah kehancuran dan kebinasaan.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidak masuk Surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebe-rat atom rasa sombong.”
Kemudian beliau bersabda,
“Sombong yaitu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Karenanya, setiap mukmin tidak boleh menolak kebenaran dan nasihat, sehingga menyerupai orang-orang kafir, juga agar tidak ter-jerumus ke dalam sifat sombong yang bisa menghalanginya masuk Surga. Maka hikmah (kebijaksanaan) adalah harta orang mukmin yang hilang. Di mana saja ditemukan, maka ia akan mengambil dan memungutnya.
Maka dari itu, kita wajib menerima kebenaran dari siapa saja, bahkan sampai dari setan sekalipun.
Tersebut dalam riwayat, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menjadikan Abu Hurairah sebagai penjaga Baitul Maal.
Suatu hari, datang seseorang untuk mencuri, tetapi Abu Hurairah segera mengetahui, sehingga menangkap basah pencuri tersebut. Pencuri itu lalu mengharap, menghiba dan mengadu kepada Abu Hurairah, bahwa ia orang yang amat lemah dan miskin. Abu Hurairah tak tega, sehingga melepas pencuri tersebut.
Tetapi pencuri itu kembali lagi melakukan aksinya pada kali kedua dan ketiga. Abu Hurairah kemudian menangkapnya, seraya mengancam, “Sungguh, aku akan mengadukan halmu kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam .”
Orang itu ketakutan dan berkata menghiba, “Biarkanlah aku, jangan adukan perkara ini kepada Rasulullah! Jika kau penuhi, sungguh aku akan mengajarimu suatu ayat dari Al-Qur’an, yang jika engkau membacanya, niscaya setan tak akan mendekatimu.” Abu Hurairah bertanya, “Ayat apakah itu?”
Ia menjawab, “Ia adalah ayat Kursi.” Lalu Abu Hurairah melepas kembali pencuri tersebut. Selanjutnya Abu Hurairah menceritakan kepada Rasulullah apa yang ia saksikan. Lalu Rasulullah bertanya padanya, “Tahukah kamu, siapakah orang yang berbicara tersebut? Sesungguhnya ia adalah setan. Ia berkata benar padahal dia adalah pendusta.” (HR. Al-Bukhari).
BAGIAN 46
SYAIR AQIDAH MUSLIM
Jika pengikut Ahmad adalah wahabi,maka aku akui bahwa diriku wahabi.
Kutiadakan sekutu bagi Tuhan,maka tak ada Tuhan bagiku selain Yang Maha Esa dan Maha Pemberi.
Tak ada kubah yang bisa diharap,tidak pula berhala, dan kuburan tidaklah sebab di antara penyebab.
Tidak, sama sekali tidak, tidak pula batu, pohon, mata air atau patung-patung.
Juga, aku tidak mengalungkan jimat,temali, rumah kerang atau taring,
untuk mengharap manfaat, atau menolak bala
Allah yang memberiku manfaat dan menolak bahaya dariku.
Adapun bid’ah dan segala perkara yang diada-adakan dalam agama,
maka orang-orang berakal mengingkarinya.
Aku berharap, semoga ku tak kan mendekatinya tidak pula rela secara agama,
ia tidak benar.
Dan aku berlindung dari Jahmiyah Aku mencela perselisihan setiap ahli takwil dan peragu-ragu, serta yang mengingkari istawa Tentangnya, cukuplah bagiku teladan dari ucapan para pemimpin yang mulia; Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Ibnu Hambal; orang-orang yang bertakwa dan ahli bertaubat.
Dan pada zaman kita sekarang ini, ada orang yang mempercayai, seraya berteriak atasnya;
Mujassim wahabi Telah ada hadits tentang keterasingan Islam,maka hendaknya para pencinta menangis,karena terasing dan orang-orang yang dicintainya.
Allah yang melindungi kita,yang menjaga agama kita,dari kejahatan setiap pembangkang dan pencela.
Dia menguatkan agamaNya yang lurus,dengan sekelompok orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah dan kitabNya.
Mereka tidak mengambil hukum lewat pendapat dan kias, Sedang kepada para ahli wahyu, mereka sebaik-baik orang yang kembali.
Sang Nabi terpilih telah mengabarkan tentang mereka, bahwa mereka adalah orang-orang asing, di tengah keluarga dan kawan pergaulannya.
Mereka menapaki jalan orang-orang yang menuju petunjuk, dan berjalan di atas jalan mereka, dengan benar.
Karena itu, orang-orang yang suka berlebihan, berlari dan menjauh dari mereka.
Tapi kita berkata, tidak aneh.
Telah lari pula orang-orang yang diseru oleh sebaik-baik manusia, bahkan menjulukinya sebagai tukang (ahli) sihir lagi pendusta.
Padahal mereka mengetahui, betapa beliau seorang yang teguh memegang amanah dan janji, mulia dan jujur menepati.
Semoga keberkahan atasnya, Selama angin masih berhembus, juga atas segala keluarga dan semua sahabatnya.”
(Dikutip dari terjemah kitab Jalan Golongan Yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
0 comments:
Post a Comment