Jalan Golongan Yang Selamat (Bagian XXX-XXXIV)

1611
0
BERBAGI
BAGIAN 30
NIFAQ BESAR DAN NIFAQ KECIL
NIFAQ BESAR
Nifaq besar yaitu menampakkan Islam dengan lisan tetapi mengingkarinya di dalam hati dan jiwa. Nifaq besar ada beberapa macam:
1. Mendustakan Rasulullah , atau mendustakan sebagian risalah yang beliau bawa.
2. Membenci Rasulullah , atau membenci sebagian risalah yang beliau bawa.
3. Merasa senang dengan kekalahan Islam, atau membenci kemenangan agamanya.
Orang yang melakukan nifaq besar ini akan mendapatkan adzab lebih berat dari orang- orang kafir, dan bahaya mereka adalah lebih besar. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka.” (An-Nisaa’: 145)
Karena itu, di awal surat Al-Baqarah, Allah menyifati orang-orang kafir hanya dengan dua ayat, sedang orang-orang munafik disifatinya dengan tiga belas ayat.
Kita menyaksikan orang-orang shufi di kalangan umat Islam melakukan shalat dan puasa, tetapi mereka sungguh amat berbahaya. Karena mereka merusak aqidah umat Islam; membolehkan berdo’a kepada selain Allah yang hal itu merupakan syirik besar, Mempercayai bahwa Allah berada di setiap tempat, dan menafikan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy. Suatu hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits shahih.
NIFAQ KECIL
Nifaq kecil adalah nifaq dalam perilaku dan perbuatan. Seperti seorang muslim yang memiliki karakter dan sifat sebagaimana yang dimiliki oleh orang-orang munafik. Rasulullah mengabarkan hal tersebut dalam sabdanya,
“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji tidak menepati, dan jika dipercaya khianat.” (Muttafaq Alaih)
“Empat perkara, jika ada pada diri seseorang maka ia seorang munafik sejati. Dan jika salah satu daripadanya ada pada sese-orang maka ia memiliki satu sifat munafik, sehingga ia mening-galkannya, yaitu: bila berbicara dusta, bila berjanji tidak mene-pati, jika membuat persetujuan ia khianat dan bila berbantah ia (berargumentasi secara) dusta.” (Muttafaq Alaih)
Nifaq yang dimaksud tidak menjadikan orang yang bersangkutan keluar dari Islam (murtad), tetapi ia termasuk dosa besar.
At-Tirmidzi berkata, “Makna nifaq dalam kandungan hadits tersebut, menurut para ahli ilmu adalah nifaq amali (nifaq dalam perilaku dan perbuatan). Sedang pada zaman Rasulullah dahulu, ia disebut nifaq takdziib (nifaq mendustakan).
(Empat pembahasan di muka, disarikan dari kitab Muqarrarut Tauhiid).
BAGIAN 31
KEKASIH ALLAH DAN KEKASIH SETAN
Allah berfirman,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Yunus: 62-63)
Ayat di atas mengandung pengertian bahwa wali adalah orang mukmin yang bertaqwa dan menjauhi maksiat. Ia berdo’a hanya kepada Allah semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Terkadang tampak padanya karamah ketika sedang dibutuhkan. Seperti karamah Maryam ketika ia mendapatkan rizki berupa makanan di rumahnya.
Maka, wilayah (kewalian) memang ada. Tetapi ia tidak terjadi kecuali pada hamba yang mukmin, ta’at dan mengesakan Allah. Karamah tidak menjadi syarat untuk seseorang disebut wali, sebab syarat demikian tidak diberitahukan oleh Al-Qur’an.
Wilayah itu tidak mungkin terjadi pada seorang fasik atau musy-rik yang berdo’a dan memohon kepada selain Allah. Sebab hal itu termasuk amalan orang-orang musyrik, sehingga bagaimana mungkin mereka menjadi para wali yang dimuliakan…?
Wilayah tidak bisa diperoleh melalui warisan dari nenek moyang atau keturunan, tetapi ia didapatkan dengan iman dan amal shalihnya.
Apa yang tampak pada sebagian ahli bid’ah seperti memukul-mukulkan besi ke perut, memakan api dan sebagainya dengan tidak menimbulkan cedera apapun, maka itu adalah dari perbuatan setan. Hal yang demikian bukan karamah tetapi istidraaj agar mereka sema-kin jauh tenggelam dalam kesesatan.
Allah berfirman,
“Katakanlah, ‘Barangsiapa berada dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo bagi-nya’.” (Maryam: 75)
Mereka yang pergi ke India, akan menyaksikan orang-orang Majusi lebih dari itu. Di antaranya mereka saling memukulkan pedang, dengan tidak menimbulkan bahaya apapun, padahal mereka adalah orang-orang kafir.
Islam tidak mengakui berbagai perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam tersebut, juga tidak oleh para sahabatnya. Seandai-nya di dalam perbuatan tersebut terdapat kebaikan, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita.
Menurut persepsi kebanyakan manusia, wali adalah orang yang mengetahui ilmu ghaib. Padahal ilmu ghaib adalah sesuatu yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Memang, terkadang hal itu di-tampakkan pada sebagian RasulNya, jika Dia menghendakinya. Allah berfirman,
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya”. (Al-Jin: 26-27)
Dengan tegas, ayat di atas mengkhususkan para rasul, dan tidak menyebutkan yang lain.
Sebagian orang menyangka bahwa setiap kuburan yang dibangun di atasnya kubah adalah wali. Padahal bisa jadi kuburan tersebut di dalamnya adalah orang fasik, atau bahkan mungkin tak ada manusia yang dikubur di dalamnya.
Membangun sesuatu bangunan di atas kuburan adalah diharamkan oleh Islam. Dalam sebuah hadits shahih ditegaskan,
“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam melarang mengapur kuburan atau dibangun sesuatu di atasnya.” (HR. Muslim)
Seorang wali bukanlah yang dikuburkan di dalam masjid, atau yang dibangun di atasnya suatu bangunan atau kubah. Hal ini justru melanggar ajaran syari’at Islam. Demikian pula, mimpi bertemu dengan mayit tidak merupakan dalil secara syara’ atas kewalian. Bahkan bisa jadi ia adalah bunga tidur yang berasal dari setan.
KHURAFAT, BUKAN KARAMAH
Dalam salah satu edisinya, di bawah judul “Khurafat Seputar Ad-Dasuki”, majalah At-Tauhid menulis, “Dalam hasyiah (catatan pinggir) kitab Ash-Shawi disebutkan, “Sesungguhnya Dasuki bisa berbicara dengan segala bahasa; bahasa asing dan bahasa Suryani. Bahasa binatang dan bahasa burung. Ia telah berpuasa sejak dalam buaian, melihat Lauh Mahfuzh, telapak kakinya tidak pernah mengin-jak bumi, ia bisa memindahkan nasib muridnya dari sengsara menjadi bahagia, dunia di tangannya dibuat laksana cincin, dan dia telah sampai ke Sidratul Muntaha”.
Ini adalah omong kosong. Tak seorang pun yang akan memper-cayainya, kecuali orang yang amat bodoh sekali. Bahkan hal itu adalah suatu kekufuran yang nyata. Bagaimana mungkin ia bisa melihat Lauf Mahfuzh, yang Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam penghulu semua makhluk tak pernah melihatnya …?
Bagaimana mungkin ia bisa memindahkan nasib murid-muridnya dari sengsara menjadi bahagia …? Semua ini adalah khurafat yang dibuat-buat oleh orang-orang shufi yang angkuh dan sombong. Mereka tidak sadar, sesungguhnya mereka berada di dalam kesesatan yang nyata.
Karena itu pembaca, hindarilah kitab-kitab yang memuat ber-bagai khurafat semacam ini. Di antaranya kitab At-Tabaqaatul Kubraa, oleh Sya’rani. Khaziinatul Asraar, Nuzhatul Majaalis, Ar-Raudhul Faa’iq, Mukasyafatul Quluub, oleh Al-Ghazali. Al-‘Araa’is, oleh Ats-Tsa’aalibi. Semua kitab itu haram dicetak dan diperjual-belikan.
BAGIAN 32
CABANG-CABANG IMAN
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
“Iman itu lebih dari enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah ucapan, ‘Laa ilaaha illallah’ dan cabang yang paling rendah yaitu menyingkirkan kotoran dari jalan”. (HR. Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar telah meringkas hal tersebut dalam kitab-nya Fathul Baari, sesuai keterangan Ibnu Hibban, beliau berkata, “Cabang-cabang ini terbagi dalam amalan hati, lisan dan badan”.
1. Amalan Hati:
Adapun amalan hati adalah berupa i’tikad dan niat. Dan ia terdiri dari dua puluh empat sifat (cabang); iman kepada Allah, termasuk di dalamnya iman kepada Dzat dan Sifat-sifatNya serta pengesaan bahwasanya Allah adalah:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat”. (As-Syuraa: 11)
Serta ber’itikad bahwa selainNya adalah baru, makluk. Beriman kepada Allah, beriman kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab dan para rasulNya. Beriman kepada qadar (ketentuan) Allah, yang baik mau-pun yang buruk.
Beriman kepada hari Akhirat: Termasuk di dalamnya pertanyaan di dalam kubur, kenikmatan dan adzabNya, kebangkitan dan pengum-pulan di Padang Mahsyar, hisab (perhitungan amal), mizan (tim-bangan amal), shirath (titian di atas Neraka), Surga dan Neraka.
Kecintaan kepada Allah, cinta dan marah karena Allah. Ke-cintaan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam dan yakin atas keagungan beliau, termasuk di dalamnya bershalawat atas Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam dan mengikuti sunnahnya.
Ikhlas, termasuk di dalamnya meninggalkan riya dan nifaq. Taubat dan takut, berharap, syukur dan menepati janji, sabar, ridha dengan qadha dan qadhar, tawakkal, kasih sayang dan tawadhu (rendah hati), termasuk di dalamnya menghormati yang tua, mengasihi yang kecil, meninggalkan sifat sombong dan bangga diri, mening-galkan dengki, iri hati dan emosi.
2. Perbuatan Lisan:
Ia terdiri dari tujuh cabang: Mengucapkan kalimat tauhid, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah, membaca Al-Qur’an, belajar ilmu dan mengajarkannya, berdo’a, dzikir, termasuk di dalamnya istighfar (memohon ampun kepada Allah), bertasbih (mengucapkan, “Subhanallah”, dan menjauhi perkataan yang sia-sia.
3. Amalan Badan:
Ia terdiri dari tiga puluh delapan cabang:
a. Yang berkaitan dengan materi.
Bersuci baik secara lahiriyah maupun hukumiah: termasuk di dalamnya menjauhi barang-barang najis, menutup aurat, shalat fardhu dan sunnat, zakat, memerdekakan budak.
Dermawan: termasuk di dalamnya memberikan makan orang lain, memuliakan tamu. Puasa baik fardhu maupun sunnat, i’tikaf, mencari lailatul qadar, haji, umrah dan thawaf.
Lari dari musuh untuk mempertahankan agama: termasuk di dalamnya hijrah dari negeri musyrik ke negeri iman. Memenuhi nadzar, berhati-hati dalam soal sumpah (yakni bersumpah dengan nama Allah secara jujur, hanya ketika sangat membutuhkan hal itu), memenuhi kaffarat (denda), misalnya kaffarat sumpah, kaffarat hubungan suami-istri di bulan Ramadhan.
b. Yangberkaitan dengan nafsu.
Ia terdiri dari enam cabang: menjaga diri dari perbuatan maksiat (zina) dengan menikah, memenuhi hak-hak keluarga, berbakti kepada kedua orang tua: termasuk di dalamnya tidak mendurhakainya, mendidik anak.
Silaturahim, taat kepada penguasa (dalam hal-hal yang tidak merupakan maksiat kepada Allah), dan kasih sayang kepada hamba sahaya.
c. Yang berkaitan dengan hal-hal umum:
Ia terdiri dari tujuh belas cabang: menegakkan kepemimpinan secara adil, mengikuti jama’ah, taat kepada ulil amri, melakukan ishlah (perbaikan dan perdamaian) di antara manusia termasuk di dalamnya memerangi orang-orang Khawarij dan para pemberontak. Tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, termasuk di dalam-nya amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan melarang dari kemungkaran), melaksanakan hudud (hukuman-hukuman yang telah ditetapkan Allah).
Jihad, termasuk di dalamnya menjaga wilayah Islam dari serangan musuh, melaksanakan amanat, di antaranya merealisasikan pembagian seperlima dari rampasan perang: Utang dan pembayaran, memuliakan tetangga, bergaul secara baik, termasuk di dalamnya mencari harta secara halal. Menginfakkan harta pada yang berhak, termasuk di dalamnya meninggalkan sikap boros dan foya-foya. Men-jawab salam, mendo’akan orang bersin yang mengucapkan alham-dulillah, mencegah diri dari menimpakan bahaya kepada manusia, menjauhi perkara yang tidak bermanfaat serta menyingkirkan kotoran yang mengganggu manusia dari jalan.
Hadits di muka menunjukkan, bahwa tauhid (kalimat laa ilaaha illallah) adalah cabang iman yang paling tinggi dan paling utama.
Oleh karena itu, para da’i hendaknya memulai dakwahnya dari cabang iman yang paling utama, kemudian baru cabang-cabang lain yang ada di bawahnya. Dengan kata lain, membangun fondasi terlebih dahulu (tauhid), sebelum mendirikan bangunan (cabang-cabang iman yang lain). Mendahulukan hal yang terpenting, kemudian disusul hal-hal yang penting.
Tauhid adalah yang mempersatukan bangsa Arab dan bangsa asing lainnya atas dasar Islam. Dari persatuan itu, tegaklah Daulah Islamiyah sebagai Daulah Tauhid.
BAGIAN 33
SEBAB TERJADINYA MUSIBAH
DAN CARA PENANGGULANGANNYA
Al-Qur’anul Karim telah menyebutkan beberapa sebab terjadinya musibah, berikut bagaimana Allah menghilangkan musibah tersebut dari para hambaNya. Di antaranya adalah firman Allah,
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerah-kanNya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada ada diri mereka sendiri.” (Al-Anfaal: 53)
“Dan apa saia musibah yang menimpa kamu maka adalah dise-babkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syuuraa: 30)
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali jalan yang benar).” (Ar-Ruum: 41)
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang ke-padanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)-nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasa-kan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebab-kan apa yang selalu mereka perbuat.” (An-Nahl: 112)
Ayat-ayat yang mulia ini memberi pengertian kepada kita bahwa Allah adalah Maha Adil dan Maha Bijaksana. Ia tidak akan menurun-kan bala’ dan bencana atas suatu kaum kecuali karena perbuatan maksiat, dan pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah. Lebih-lebih karena jauhnya mereka dari tauhid, serta tersebar luasnya berbagai perbuatan syirik di banyak negara-negara Islam. Hal yang menyebabkan timbulnya banyak fitnah dan ujian. Berbagai musibah itu tidak akan hilang kecuali dengan kembali mentauhidkan Allah, dan menegakkan syari’at-syari’atNya baik terhadap pribadi maupun masyarakat.
Al-Qur’an juga menjelaskan keadaan orang-orang musyrik yang berdo’a kepada Allah dengan mengesakanNya saat ditimpa musibah dan kesempitan. Tetapi ketika Allah membebaskan mereka dari musi-bah dan kesempitan tersebut, mereka kembali lagi kepada perbuatan syirik, menyembah dan memohon kepada selain Allah di waktu senang dan lapang. Allah berfirman,
“Maka apabila mereka naik kapal, mereka mendo’a kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepadaNya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (Al-‘Ankabuut: 65)
Ironinya, mayoritas umat Islam saat ini, manakala ditimpa musi-bah, mereka memohon pertolongan kepada selain Allah, mereka me-nyeru, “Ya Rasulullah, ya Syaikh Jailani, ya Syaikh Rifa’i, ya Syaikh Marghani, ya Syaikh Badawi, ya Syaikh Arab … dan sebagainya.”
Mereka menyekutukan Allah di masa sempit dan lapang, me-langgar firman Allah serta sabda RasulNya.
Sesungguhnya kekalahan umat Islam ketika perang Uhud adalah disebabkan oleh sebagian para pemanah yang tidak menta’ati perintah pemimpin mereka, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam . Anehnya, mereka heran atas kekalahan yang mereka derita. Maka dengan tegas Al-Qur’an menjawab,
“Katakanlah, ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (Al-Imran: 165)
Ketika dalam perang Hunain, sebagian umat Islam berkata, “Kita tak akan terkalahkan oleh pasukan yang berjumlah sedikit.” Dan hasil-nya adalah mereka kalah. Allah mencela mereka dalam firmanNya,
“Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu men-jadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfa’at kepadamu sedikit pun.” (At-Taubah: 25)
Umar bin Khaththab menulis surat kepada panglima Sa’ad bin Abi Waqqash di Irak, “Janganlah kalian mengatakan, ‘Sesungguhnya musuh kita lebih jahat daripada kita sehingga tak mungkin mereka mengalahkan dan menguasai kita’. Sebab terkadang suatu kaum di-kuasai oleh kaum yang lebih jahat dari mereka sebagaimana kaum Bani Israil dikuasai oleh orang-orang kafir Majusi disebabkan oleh perbuatan maksiat mereka. Maka, mohonlah pertolongan kepada Allah atas diri kalian, sebagaimana mohon pertolongan atas musuh-musuh kalian’.”
BAGIAN 34
PERINGATAN MAULID NABI
Dalam peringatan maulid yang diselenggarakan, sering terjadi kemungkaran, bid’ah dan pelanggaran terhadap syari’at Islam.
Peringatan maulid tidak pernah diselenggarakan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam, juga tidak oleh para sahabat, tabi’in dan imam yang empat, serta orang-orang yang hidup di abad-abad kekayaan Islam. Lebih dari itu, tak ada dalil syar’i yang menyerukan penyelenggaraan maulid Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam tersebut.
Untuk lebih mengetahui hakikat maulid, marilah kita ikuti uraian berikut:
1. Kebanyakan orang-orang yang menyelenggarakan peringatan maulid, terjerumus pada perbuatan syirik. Yakni ketika mereka me-nyenandungkan:
“Wahai Rasulullah, berilah kami pertolongan dan bantuan.
Wahai Rasulullah, engkaulah sandaran (kami).
Wahai Rasulullah, hilangkanlah derita kami.
Tiadalah derita (itu) melihatmu, kecuali ia akan melarikan diri.”
Seandainya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam mendengar senandung tersebut, tentu beliau akan menghukuminya dengan syirik besar. Sebab pemberian pertolongan, tempat sandaran dan pembebasan dari segala derita adalah hanya Allah semata. Allah berfirman,
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepadaNya, dan yang menghilang-kan kesusahan … ?” (An-Naml: 62)
Allah memerintahkan Rasulullah agar memaklumkan kepada segenap manusia,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu ke-manfa’atan’.” (Al-Jin: 21)
Dan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam sendiri bersabda,
“Bila engkau meminta maka mintalah Kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Timidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
2. Kebanyakan perayaan maulid yang diadakan adalah berlebihan dan menambah-nambah dalam menyanjung Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam . Padahal Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam melarang hal tersebut.Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
“Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku tak lebih hanyalah seorang hamba, maka katakanlah (pada-ku), Abdullah (hamba Allah) dan RasulNya.” (HR. Al-Bukhari)
3. Dalam ulang tahun perkawinan dan lainnya, terkadang dituturkan bahwa Allah menciptakan Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Salam dari cahayaNya, lalu menciptakan segala sesuatu dari cahaya Muhammad. Al-Qur’an mendustakan mereka, dalam firmanNya,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa’.” (Al-Kahfi: 110)
Padahal, sebagaimana diketahui, Rasulullah adalah diciptakan dengan perantara seorang bapak dan seorang ibu. Ia adalah manusia biasa yang dimuliakan dengan diberi wahyu oleh Allah.
Dalam peringatan maulid tersebut, sebagian mereka menyenandungkan bahwa Allah menciptakan alam semesta karena Muhammad. Al-Qur’an mendustakan apa yang mereka katakan itu.
Allah berfirman,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.” (Adz-Dzaariyaat: 56)
4. Merayakan hari kelahiran Isa Al-Masih adalah tradisi orang-orang Nasrani. Demikian pula dengan perayaan hari ulang tahun setiap anggota keluarga mereka. Lalu, umat Islam ikut-ikutan meraya-kan bid’ah tersebut. Yakni merayakan hari kelahiran Nabi mereka, juga ulang tahun kelahiran setiap anggota keluarganya. Padahal Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam telah memperingatkan,
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud, hadits shahih)
5. Dalam peringatan maulid Nabi tersebut, banyak terjadi ikhtilath (laki-laki dan perempuan di satu tempat, masing-masing tidak dipisahkan dalam tempat khusus), hal yang sesungguhnya di-haramkan oleh Islam.
6. Uang yang dibelanjakan untuk keperluan dekorasi, kon-sumsi, transportasi dan sebagainya terkadang mencapai jutaan. Uang banyak yang habis dalam sekejap itu –padahal mengumpulkannya sering dengan susah payah– sesungguhnya lebih dibutuhkan umat Islam untuk kepentingan yang lain. Seperti membantu fakir miskin, memberi beasiswa belajar bagi anak-anak orang Islam yang tidak mampu, menyantuni anak yatim dan sebagainya. Disamping, dalam peringatan maulid tersebut, sering terjadi pemborosan. Sesuatu yang amat menyenangkan orang-orang kafir, karena barang produksi mereka laku. Padahal Rasulullah melarang secara tegas menyia-nyiakan harta.
7. Waktu yang dipergunakan untuk mempersiapkan dekorasi, konsumsi dan transportasi sering membuat lengah para penyelenggara maulid, sehingga tak jarang sebagian mereka sampai meninggalkan shalat.
8. Sudah menjadi tradisi dalam peringatan maulid, bahwa di akhir bacaan maulid sebagian hadirin berdiri, karena mereka mempercayai pada waktu itu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam hadir. Ini adalah kedustaan yang nyata. Sebab Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka di-bangkitkan.” (Al-Mu’minuun: 100)
Yang dimaksud barzakh (dinding) pada saat tersebut adalah pembatas antara dunia dengan akhirat. Anas bin Malik Radhiallaahu anhu berkata,
“Tidak ada seorang pun yang lebih dicintai oleh para sahabat daripada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam. Tetapi jika mereka melihat Rasulullah, mereka tidak berdiri untuk (menghormati) beliau, karena mereka tahu bahwa Rasulullah membenci hal tersebut.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, hadits shahih)
9. Sebagian orang mengatakan, “Dalam maulid, kami memba-ca sirah Rasul (perjalanan hidup Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam ). Tetapi pada kenyataannya mereka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan sabda dan perjalanan hidup beliau. Seorang yang mencintai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam adalah yang membaca sirah beliau setiap hari bukan setiap tahun. Belum lagi bahwa pada bulan Rabi’ul Awal, bulan kelahiran Nabi, juga merupakan bulan di mana Rasulullah wafat. Karena itu, bersuka cita di dalamnya tidak lebih utama daripada berkabung pada bulan tersebut.
10. Tak jarang peringatan maulid itu berlarut hingga tengah malam, sehingga menjadikan sebagian mereka paling tidak mening-galkan shalat Shubuh secara berjama’ah, atau malahan tidak melakukan shalat Shubuh.
11. Banyaknya orang yang menyelenggarakan peringatan mau-lid bukan suatu alasan bagi pembenaran hal tersebut. Sebab Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An’am: 116)
Hudzaifah berkata, “Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun oleh manusia hal itu dianggap baik.”
12. Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya Ahlus Sunnah, sejak dahulu adalah kelompok minoritas di antara manusia. Demikian pula, sampai saat ini mereka adalah minoritas. Mereka tidak mengi-kuti para tukang maksiat dalam kemaksiatan mereka, tidak pula para ahli bid’ah dalam perbuatan bid’ah mereka. Mereka bersabar atas sunnah-sunnah mereka, sampai mereka menghadap Tuhan mereka. Demikianlah, karena itu jadilah Ahlus Sunnah”.
13. Sesungguhnya yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja Al-Mudzaffar di negeri Syam, pada awal abad ke tujuh hijriah. Sedangkan yang pertama kali mengadakan maulid di Mesir yaitu Bani Fathimah. Mereka itu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir adalah orang-orang kafir dan fasik. Bukalah kembali bab “Kuburan-kuburan Yang Diziarahi.”
(Dikutip dari terjemah kitab Jalan Golongan Yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)