222
Jalan Golongan Yang Selamat (XIII-XVI)
BAGIAN 13
HUKUM HANYA MILIK ALLAH SEMATA
Allah menciptakan makhluk dengan tujuan agar mereka beribadah kepadaNya semata. Ia mengutus para rasulNya untuk mengajar manusia, lalu menurunkan kitab-kitab kepada mereka, sehingga bisa memberikan hukum (putusan) yang benar dan adil di antara manusia. Hukum tersebut tercermin dalam firman Allah Ta’ala, dan dalam sabda Rasulullah . Hukum-hukum itu mengandung berbagai masalah. Di antaranya ibadah, mu’amalah (pergaulan antar manusia), aqa’id (ke-percayaan), tasyri’ (penetapan syari’at), siyasah (politik) dan berbagai permasalahan manusia lainnya.
1. Hukum dalam aqidah:
Yang pertama kali diserukan oleh para rasul adalah pelurusan aqidah serta mengajak manusia kepada tauhid.
Nabi Yusuf misalnya, ketika berada di dalam penjara beliau me-nyeru kedua temannya kepada tauhid, ketika keduanya menanyakan padanya tentang ta’bir (tafsir) mimpi. Sebelum nabi Yusuf menjawab pertanyaan keduanya, ia berkata:
“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Hukum (keputusan) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 39-40)
2. Hukum dalam ibadah:
Kita wajib mengambil hukum-hukum ibadah, baik shalat, zakat, haji dan lainnya dari Al-Qur’an dan hadits shahih, sebagai realisasi dari sabda Rasulullah :
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (Muttafaq alaih)
“Ambillah teladan dariku dalam tata cara ibadah (hajimu).” (HR. Muslim)
Dan merupakan penerapan dari ucapan para imam mujtahid, “Jika hadits itu shahih maka ia adalah madzhabku.”
Bila antara imam mujtahid terjadi perselisihan pendapat, kita tidak boleh fanatik terhadap perkataan seseorang di antara mereka, kecuali kepada yang memiliki dalil shahih yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3. Hukum dalam mu’amalah:
Hukum dalam mu’amalah (pergaulan antarmanusia), baik yang berupa jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa dan lain sebagai-nya. Semua hal tersebut harus berlandaskan hukum (keputusan) Allah dan RasulNya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’: 65)
Para mufassir, dengan menyitir riwayat dari Imam Al-Bukhari menyebutkan, sebab turunnya ayat di atas adalah karena sengketa masalah irigasi (pengairan) yang terjadi antara dua sahabat Rasulullah . Lalu Rasulullah memutuskan bahwa yang berhak atas irigasi tersebut adalah Zubair. Serta merta lawan sengketanya berucap, “Wahai Rasulullah, engkau putuskan hukum untuknya (maksudnya, dengan membela Zubair) karena dia adalah anak bibimu!” Sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah ayat di atas.
4. Hukum dalam masalah hudud (hukuman yang ditetapkan untuk memenuhi hak Allah) dan qishash (hukum balas yang sepadan):
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’la:
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” (Al-Maa’idah: 45)
5. Tasyri’ (penetapan syari’at) adalah milik Allah semata:
Allah berfirman:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu.” (Asy-Syuura: 13)
Allah menolak orang-orang musyrik yang memberikan hak penetapan hukum kepada selain Allah. Allah berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?” (Asy-Syuura: 21)
KESIMPULAN:
Setiap umat Islam wajib menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih sebagai hakim (penentu hukum), merujuk kepada kedua-nya manakala sedang berselisih dalam segala hal, sebagai realisasi dari firman Allah:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah.” (Al-Maa’idah: 49)
Juga penerapan dari sabda Rasulullah :
“Dan selama para pemimpin umat tidak berhukum kepada kitab Allah, dan memilih apa yang diturunkan oleh Allah, niscaya ke-sengsaraan akan ditimpakan di tengah-tengah mereka.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya, hadits hasan)
Umat Islam wajib membatalkan hukum-hukum (perundang-un-dangan) asing yang ada di negaranya. Seperti undang-undang Peran-cis, Inggris dan lainnya yang bertentangan dengan hukum Islam.
Hendaknya umat Islam tidak lari ke mahkamah yang berlandas-kan undang-undang yang bertentangan dengan Islam. Hendaknya me-reka mengajukan perkaranya kepada orang yang dipercaya dari ka-langan ahli ilmu, sehingga perkaranya diputuskan secara Islam, dan itulah yang lebih baik bagi mereka. Sebab Islam menyadarkan mere-ka, memberikan keadilan di antara mereka, efisien dalam hal uang dan waktu. Tidak seperti peradilan buatan manusia yang menghabiskan materi secara sia-sia. Belum lagi adzab dan siksa besar yang bakal di-terimanya pada hari Kiamat. Sebab dia berpaling dari hukum Allah yang adil, dan berlindung kepada hukum buatan makhluk yang zhalim.
BAGIAN 14
AKIDAH DAHULU ATAUKAH KEKUASAAN?
Lewat manakah Islam akan tampil kembali memimpin dunia? Da’i besar Muhammad Qutb menjawab persoalan ini dalam sebuah kuliah yang disampaikannya di Daarul Hadits, Makkah Al-Mukar-ramah. Teks pertanyaan itu sebagai berikut:
“Sebagian orang berpendapat bahwa Islam akan kembali tampil lewat kekuasaan, sebagian lain berpendapat bahwa Islam akan kembali dengan jalan meluruskan akidah, dan tarbiyah (pendidikan) masyarakat. Manakah di antara dua pendapat ini yang benar?”
Beliau menjawab: “Bagaimana Islam akan tampil berkuasa di bumi, jika para du’at belum meluruskan akidah umat, sehingga kaum muslimin beriman secara benar dan diuji keteguhan agama mereka, lalu mereka bersabar dan berjihad di jalan Allah. Bila berbagai hal itu telah diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, barulah agama Allah akan berkuasa dan hukum-hukumNya diterapkan di persada bumi. Persoalan ini amat jelas sekali. Kekuasaan itu tidak datang dari langit, tidak serta merta turun dari langit. Memang benar, segala sesuatu datang dari langit, tetapi melalui kesungguhan dan usaha manusia. Hal itulah yang diwajibkan oleh Allah atas manusia dengan firmanNya:
“Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain.” (Muhammad: 4)
Karena itu, kita mesti memulai dengan meluruskan aqidah, men-didik generasi berikut atas dasar akidah yang benar, sehingga terwujud suatu generasi yang tahan uji dan sabar oleh berbagai cobaan, seba-gaimana yang terjadi pada generasi awal Islam.”
BAGIAN 15
SYIRIK BESAR DAN MACAMNYA
Syirik besar adalah menjadikan sesuatu sebagai sekutu (tan-dingan) bagi Allah. Ia memohon kepada sesuatu itu sebagaimana ia memohon kepada Allah. Atau melakukan padanya suatu bentuk ibadah, seperti istighatsah (mohon pertolongan), menyembelih hewan, bernadzar dan sebagainya.
Dalam Shahihain disebutkan, Ibnu Mas’ud meriwayatkan, aku bertanya kepada Nabi , “Dosa apakah yang paling besar?” Beliau menjawab:
“Yaitu engkau menjadikan tandingan (sekutu) bagi Allah sedang-kan Dialah yang menciptakanmu.” (HR. Al-Bukhari dan Mus-lim)
A. MACAM-MACAM SYIRIK BESAR
1. Syirik dalam do’a:
Yaitu berdo’a kepada selain Allah, baik kepada para nabi atau wali, untuk meminta rizki atau memohon kesembuhan dari penyakit. Allah berfirman,
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka se-sungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zha-lim.”(Yunus: 106)
Zhalim yang dimaksud oleh ayat ini adalah syirik. Dan Rasu-lullah r menegaskan dalam sabdanya:
“Barangsiapa meningal dunia sedang dia memohon kepada se-lain Allah sebagai tandingan (sekutu), niscaya dia masuk Neraka.” (HR. Al-Bukhari)
Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa berdo’a kepada selain Allah, baik kepada orang-orang mati atau orang-orang yang tidak hadir merupakan perbuatan syirik adalah firman Allah:
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menye-ru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu, dan kalau mere-ka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan perminta-anmu. Dan di hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui,” (Faathir: 13-14)
2. Syirik dalam sifat Allah:
Seperti kepercayaan bahwa para nabi dan wali mengetahui hal-hal yang ghaib. Allah berfirman:
“Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (Al-An’aam: 59)
3. Syirik dalam mahabbah (kecintaan):
Yang dimaksud syirik dalam mahabbah yaitu ia mencintai seseorang baik wali atau lainnya sebagaimana kecintaannya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tan-dingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya, sebagai-mana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang ber-iman sangat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
4. Syirik dalam keta’atan:
Yaitu keta’atan kepada ulama atau syaikh dalam hal kemaksiatan, dengan mempercayai bahwa hal tersebut dibolehkan. Allah berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” (At-Taubah: 31)
Ta’at kepada para ulama dalam hal kemaksiatan yaitu dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Atau sebaliknya, mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Ta’at kepada para ulama dalam hal kemaksiatan inilah yang ditafsirkan sebagai bentuk ibadah kepada mereka. Rasulullah menegaskan:
“Tidak ada keta’atan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Al-Khalik (Allah).” (HR. Ahmad, hadits shahih)
5. Syirik hulul:
Yaitu mempercayai bahwa Allah menitis kepada para makhluk-Nya. Ini adalah aqidah Ibnu Arabi, seorang shufi yang meninggal dunia di Damaskus. Sampai-sampai Ibnu Arabi mengatakan:
“Tuhan adalah hamba, dan hamba adalah Tuhan.
Duhai sekiranya, siapakah yang mukallaf?”
Seorang penyair shufi lainnya, yang mempercayai aqidah hulul bersenandung:
“Tiada anjing dan babi itu, melainkan tuhan kita (juga).
Dan tiadalah Allah itu, melainkan seorang rahib yang ada di gereja.”
6. Syirik tasharruf (tindakan):
Yaitu keyakinan bahwa sebagian para wali memiliki keleluasaan untuk bertindak dalam urusan makhluk. Percaya bahwa mereka bisa mengatur persoalan-persoalan makhluk. Mereka namakan para wali itu dengan “wali Quthub”. Padahal Allah Ta’ala telah menanyakan orang-orang musyrik terdahulu dengan firmanNya:
“Dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka menjawab, ‘Allah’.” (Yunus: 31)
7. Syirik khauf (takut):
Yaitu keyakinan bahwa sebagian dari para wali yang telah meninggal dunia atau orang-orang yang ghaib bisa melakukan dan mengatur suatu urusan serta mendatangkan mudharat (bahaya). Kare-na keyakinan ini, mereka menjadi takut kepada para wali atau orang-orang tersebut.
Karena itu, kita menjumpai sebagian manusia berani bersumpah bohong atas nama Allah, tetapi tidak berani bersumpah bohong atas nama wali, karena takut kepada wali tersebut. Hal ini adalah keper-cayaan orang-orang musyrik, yang diperingatkan Al-Qur’an dalam firmanNya:
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya? Dan mereka menakut-nakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah.” (Az-Zumar: 26)
Adapun takut kepada hewan liar atau kepada orang hidup yang zhalim maka hal itu tidak termasuk dalam syirik ini. Itu adalah keta-kutan yang merupakan fitrah dan tabiat manusia, dan tidak termasuk syirik.
8. Syirik hakimiyah:
Termasuk dalam syirik hakimiyah (kekuasaan) yaitu mereka yang membuat dan mengeluarkan undang-undang yang bertentangan dengan syari’at Islam serta membolehkan diberlakukannya undang-undang tersebut. Atau dia memandang bahwa hukum Islam tidak lagi sesuai dengan zaman.
Yang tergolong musyrik dalam hal ini adalah para hakim (pe-nguasa, yang membuat serta memberlakukan undang-undang), serta orang-orang yang mematuhi dan menjalankan undang-undang terse-but, jika dia meyakini kebenaran undang-undang itu serta rela dengan-nya.
9. Syirik besar bisa menghapuskan amal:
Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Tu-han), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu terma-suk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
10. Syirik besar tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan taubat dan meninggalkan perbuatan syirik secara keselu-ruhan:
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesung-guhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisaa’: 116)
11. Syirik banyak macamnya:
Di antaranya adalah syirik besar dan syirik kecil. Semua itu wajib dijauhi. Rasulullah mengajarkan kepada kita agar berdo’a:
“Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari menyekutukanMu dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami memohon ampun kepadaMu dari (menyekutukanMu dengan sesuatu) yang kami tidak ketahui.” (HR. Ahmad dengan sanad shahih)
BAGIAN 16
PERUMPAMAAN ORANG YANG BERDO’A
KEPADA SELAIN ALLAH
1. Allah berfirman:
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat mere-butnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (Al-Hajj: 73)
Allah menyeru kepada segenap umat manusia agar mendengar-kan perumpamaan agung yang telah dibuatNya, dengan mengatakan:
“Sesungguhnya para wali dan orang-orang shalih serta lainnya yang kamu berdo’a kepadanya agar menolongmu saat kamu berada dalam kesulitan, sungguh mereka tak mampu melakukannya. Meskipun sekedar menciptakan makhluk yang sangat kecil pun mereka tidak bisa. Menciptakan lalat, misalnya. Bahkan jika lalat itu mengambil dari mereka sejumput makanan atau minuman, mereka tak mampu merebutnya kembali. Ini merupakan bukti atas kelemahan mereka, juga kelemahan lalat. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin eng-kau berdo’a kepada mereka, sebagai sesembahan selain Allah?”
Perumpamaan di atas merupakan pengingkaran dan penolakan yang amat keras terhadap orang yang berdo’a dan bermohon kepada selain Allah, baik kepada para nabi atau wali.
2. Allah berfirman:
“Hanya bagi Allah lah(hak mengabulkan) do’a yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do’a (ibadah) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (Ar-Ra’ad: 14)
Ayat di atas mengandung pengertian bahwa do’a, yang ia merupakan ibadah, wajib hanya ditujukan kepada Allah semata.
Orang-orang yang berdo’a dan memohon kepada selain Allah, tidak mendapatkan manfaat dari orang-orang yang mereka sembah. Mereka tidak bisa memperkenankan do’a barang sedikitpun.
Menurut riwayat dari Ali bin Abi Thalib , -menjelaskan perumpamaan orang yang berdo’a kepada selain Allah- yaitu seperti orang yang ingin mendapatkan air dari tepi sumur (hanya) dengan tangannya. Maka hanya dengan tangannya itu, tentu dia tidak akan mendapatkan air selama-lamanya, apatah lagi lalu air itu bisa sampai ke mulutnya?”
Menurut Mujahid,” (seperti orang yang) meminta air dengan lisannya sambil menunjuk-nunjuk air tersebut (tanpa berikhtiar selain-nya), maka selamanya air itu tak akan sampai padanya.”
Selanjutnya Allah menetapkan, bahwa hukum orang-orang yang berdo’a kepada selain Allah adalah kafir, do’a mereka hanya sia-sia belaka. Allah berfirman:
“Dan do’a (ibadah) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (Ar-Ra’ad: 14)
Maka dari itu, wahai saudaraku sesama muslim, jauhilah dari berdo’a dan memohon kepada selain Allah. Karena hal itu akan men-jadikanmu kafir dan tersesat. Berdo’alah hanya kepada Allah semata, sehingga engkau termasuk orang-orang beriman yang mengesakan-Nya.
(Dikutip dari terjemah kitab Jalan Golongan Yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
HUKUM HANYA MILIK ALLAH SEMATA
Allah menciptakan makhluk dengan tujuan agar mereka beribadah kepadaNya semata. Ia mengutus para rasulNya untuk mengajar manusia, lalu menurunkan kitab-kitab kepada mereka, sehingga bisa memberikan hukum (putusan) yang benar dan adil di antara manusia. Hukum tersebut tercermin dalam firman Allah Ta’ala, dan dalam sabda Rasulullah . Hukum-hukum itu mengandung berbagai masalah. Di antaranya ibadah, mu’amalah (pergaulan antar manusia), aqa’id (ke-percayaan), tasyri’ (penetapan syari’at), siyasah (politik) dan berbagai permasalahan manusia lainnya.
1. Hukum dalam aqidah:
Yang pertama kali diserukan oleh para rasul adalah pelurusan aqidah serta mengajak manusia kepada tauhid.
Nabi Yusuf misalnya, ketika berada di dalam penjara beliau me-nyeru kedua temannya kepada tauhid, ketika keduanya menanyakan padanya tentang ta’bir (tafsir) mimpi. Sebelum nabi Yusuf menjawab pertanyaan keduanya, ia berkata:
“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Hukum (keputusan) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 39-40)
2. Hukum dalam ibadah:
Kita wajib mengambil hukum-hukum ibadah, baik shalat, zakat, haji dan lainnya dari Al-Qur’an dan hadits shahih, sebagai realisasi dari sabda Rasulullah :
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (Muttafaq alaih)
“Ambillah teladan dariku dalam tata cara ibadah (hajimu).” (HR. Muslim)
Dan merupakan penerapan dari ucapan para imam mujtahid, “Jika hadits itu shahih maka ia adalah madzhabku.”
Bila antara imam mujtahid terjadi perselisihan pendapat, kita tidak boleh fanatik terhadap perkataan seseorang di antara mereka, kecuali kepada yang memiliki dalil shahih yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3. Hukum dalam mu’amalah:
Hukum dalam mu’amalah (pergaulan antarmanusia), baik yang berupa jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa dan lain sebagai-nya. Semua hal tersebut harus berlandaskan hukum (keputusan) Allah dan RasulNya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’: 65)
Para mufassir, dengan menyitir riwayat dari Imam Al-Bukhari menyebutkan, sebab turunnya ayat di atas adalah karena sengketa masalah irigasi (pengairan) yang terjadi antara dua sahabat Rasulullah . Lalu Rasulullah memutuskan bahwa yang berhak atas irigasi tersebut adalah Zubair. Serta merta lawan sengketanya berucap, “Wahai Rasulullah, engkau putuskan hukum untuknya (maksudnya, dengan membela Zubair) karena dia adalah anak bibimu!” Sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah ayat di atas.
4. Hukum dalam masalah hudud (hukuman yang ditetapkan untuk memenuhi hak Allah) dan qishash (hukum balas yang sepadan):
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’la:
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” (Al-Maa’idah: 45)
5. Tasyri’ (penetapan syari’at) adalah milik Allah semata:
Allah berfirman:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu.” (Asy-Syuura: 13)
Allah menolak orang-orang musyrik yang memberikan hak penetapan hukum kepada selain Allah. Allah berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?” (Asy-Syuura: 21)
KESIMPULAN:
Setiap umat Islam wajib menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih sebagai hakim (penentu hukum), merujuk kepada kedua-nya manakala sedang berselisih dalam segala hal, sebagai realisasi dari firman Allah:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah.” (Al-Maa’idah: 49)
Juga penerapan dari sabda Rasulullah :
“Dan selama para pemimpin umat tidak berhukum kepada kitab Allah, dan memilih apa yang diturunkan oleh Allah, niscaya ke-sengsaraan akan ditimpakan di tengah-tengah mereka.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya, hadits hasan)
Umat Islam wajib membatalkan hukum-hukum (perundang-un-dangan) asing yang ada di negaranya. Seperti undang-undang Peran-cis, Inggris dan lainnya yang bertentangan dengan hukum Islam.
Hendaknya umat Islam tidak lari ke mahkamah yang berlandas-kan undang-undang yang bertentangan dengan Islam. Hendaknya me-reka mengajukan perkaranya kepada orang yang dipercaya dari ka-langan ahli ilmu, sehingga perkaranya diputuskan secara Islam, dan itulah yang lebih baik bagi mereka. Sebab Islam menyadarkan mere-ka, memberikan keadilan di antara mereka, efisien dalam hal uang dan waktu. Tidak seperti peradilan buatan manusia yang menghabiskan materi secara sia-sia. Belum lagi adzab dan siksa besar yang bakal di-terimanya pada hari Kiamat. Sebab dia berpaling dari hukum Allah yang adil, dan berlindung kepada hukum buatan makhluk yang zhalim.
BAGIAN 14
AKIDAH DAHULU ATAUKAH KEKUASAAN?
Lewat manakah Islam akan tampil kembali memimpin dunia? Da’i besar Muhammad Qutb menjawab persoalan ini dalam sebuah kuliah yang disampaikannya di Daarul Hadits, Makkah Al-Mukar-ramah. Teks pertanyaan itu sebagai berikut:
“Sebagian orang berpendapat bahwa Islam akan kembali tampil lewat kekuasaan, sebagian lain berpendapat bahwa Islam akan kembali dengan jalan meluruskan akidah, dan tarbiyah (pendidikan) masyarakat. Manakah di antara dua pendapat ini yang benar?”
Beliau menjawab: “Bagaimana Islam akan tampil berkuasa di bumi, jika para du’at belum meluruskan akidah umat, sehingga kaum muslimin beriman secara benar dan diuji keteguhan agama mereka, lalu mereka bersabar dan berjihad di jalan Allah. Bila berbagai hal itu telah diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, barulah agama Allah akan berkuasa dan hukum-hukumNya diterapkan di persada bumi. Persoalan ini amat jelas sekali. Kekuasaan itu tidak datang dari langit, tidak serta merta turun dari langit. Memang benar, segala sesuatu datang dari langit, tetapi melalui kesungguhan dan usaha manusia. Hal itulah yang diwajibkan oleh Allah atas manusia dengan firmanNya:
“Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain.” (Muhammad: 4)
Karena itu, kita mesti memulai dengan meluruskan aqidah, men-didik generasi berikut atas dasar akidah yang benar, sehingga terwujud suatu generasi yang tahan uji dan sabar oleh berbagai cobaan, seba-gaimana yang terjadi pada generasi awal Islam.”
BAGIAN 15
SYIRIK BESAR DAN MACAMNYA
Syirik besar adalah menjadikan sesuatu sebagai sekutu (tan-dingan) bagi Allah. Ia memohon kepada sesuatu itu sebagaimana ia memohon kepada Allah. Atau melakukan padanya suatu bentuk ibadah, seperti istighatsah (mohon pertolongan), menyembelih hewan, bernadzar dan sebagainya.
Dalam Shahihain disebutkan, Ibnu Mas’ud meriwayatkan, aku bertanya kepada Nabi , “Dosa apakah yang paling besar?” Beliau menjawab:
“Yaitu engkau menjadikan tandingan (sekutu) bagi Allah sedang-kan Dialah yang menciptakanmu.” (HR. Al-Bukhari dan Mus-lim)
A. MACAM-MACAM SYIRIK BESAR
1. Syirik dalam do’a:
Yaitu berdo’a kepada selain Allah, baik kepada para nabi atau wali, untuk meminta rizki atau memohon kesembuhan dari penyakit. Allah berfirman,
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka se-sungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zha-lim.”(Yunus: 106)
Zhalim yang dimaksud oleh ayat ini adalah syirik. Dan Rasu-lullah r menegaskan dalam sabdanya:
“Barangsiapa meningal dunia sedang dia memohon kepada se-lain Allah sebagai tandingan (sekutu), niscaya dia masuk Neraka.” (HR. Al-Bukhari)
Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa berdo’a kepada selain Allah, baik kepada orang-orang mati atau orang-orang yang tidak hadir merupakan perbuatan syirik adalah firman Allah:
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menye-ru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu, dan kalau mere-ka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan perminta-anmu. Dan di hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui,” (Faathir: 13-14)
2. Syirik dalam sifat Allah:
Seperti kepercayaan bahwa para nabi dan wali mengetahui hal-hal yang ghaib. Allah berfirman:
“Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (Al-An’aam: 59)
3. Syirik dalam mahabbah (kecintaan):
Yang dimaksud syirik dalam mahabbah yaitu ia mencintai seseorang baik wali atau lainnya sebagaimana kecintaannya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tan-dingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya, sebagai-mana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang ber-iman sangat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
4. Syirik dalam keta’atan:
Yaitu keta’atan kepada ulama atau syaikh dalam hal kemaksiatan, dengan mempercayai bahwa hal tersebut dibolehkan. Allah berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” (At-Taubah: 31)
Ta’at kepada para ulama dalam hal kemaksiatan yaitu dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Atau sebaliknya, mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Ta’at kepada para ulama dalam hal kemaksiatan inilah yang ditafsirkan sebagai bentuk ibadah kepada mereka. Rasulullah menegaskan:
“Tidak ada keta’atan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Al-Khalik (Allah).” (HR. Ahmad, hadits shahih)
5. Syirik hulul:
Yaitu mempercayai bahwa Allah menitis kepada para makhluk-Nya. Ini adalah aqidah Ibnu Arabi, seorang shufi yang meninggal dunia di Damaskus. Sampai-sampai Ibnu Arabi mengatakan:
“Tuhan adalah hamba, dan hamba adalah Tuhan.
Duhai sekiranya, siapakah yang mukallaf?”
Seorang penyair shufi lainnya, yang mempercayai aqidah hulul bersenandung:
“Tiada anjing dan babi itu, melainkan tuhan kita (juga).
Dan tiadalah Allah itu, melainkan seorang rahib yang ada di gereja.”
6. Syirik tasharruf (tindakan):
Yaitu keyakinan bahwa sebagian para wali memiliki keleluasaan untuk bertindak dalam urusan makhluk. Percaya bahwa mereka bisa mengatur persoalan-persoalan makhluk. Mereka namakan para wali itu dengan “wali Quthub”. Padahal Allah Ta’ala telah menanyakan orang-orang musyrik terdahulu dengan firmanNya:
“Dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka menjawab, ‘Allah’.” (Yunus: 31)
7. Syirik khauf (takut):
Yaitu keyakinan bahwa sebagian dari para wali yang telah meninggal dunia atau orang-orang yang ghaib bisa melakukan dan mengatur suatu urusan serta mendatangkan mudharat (bahaya). Kare-na keyakinan ini, mereka menjadi takut kepada para wali atau orang-orang tersebut.
Karena itu, kita menjumpai sebagian manusia berani bersumpah bohong atas nama Allah, tetapi tidak berani bersumpah bohong atas nama wali, karena takut kepada wali tersebut. Hal ini adalah keper-cayaan orang-orang musyrik, yang diperingatkan Al-Qur’an dalam firmanNya:
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya? Dan mereka menakut-nakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah.” (Az-Zumar: 26)
Adapun takut kepada hewan liar atau kepada orang hidup yang zhalim maka hal itu tidak termasuk dalam syirik ini. Itu adalah keta-kutan yang merupakan fitrah dan tabiat manusia, dan tidak termasuk syirik.
8. Syirik hakimiyah:
Termasuk dalam syirik hakimiyah (kekuasaan) yaitu mereka yang membuat dan mengeluarkan undang-undang yang bertentangan dengan syari’at Islam serta membolehkan diberlakukannya undang-undang tersebut. Atau dia memandang bahwa hukum Islam tidak lagi sesuai dengan zaman.
Yang tergolong musyrik dalam hal ini adalah para hakim (pe-nguasa, yang membuat serta memberlakukan undang-undang), serta orang-orang yang mematuhi dan menjalankan undang-undang terse-but, jika dia meyakini kebenaran undang-undang itu serta rela dengan-nya.
9. Syirik besar bisa menghapuskan amal:
Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Tu-han), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu terma-suk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
10. Syirik besar tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan taubat dan meninggalkan perbuatan syirik secara keselu-ruhan:
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesung-guhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisaa’: 116)
11. Syirik banyak macamnya:
Di antaranya adalah syirik besar dan syirik kecil. Semua itu wajib dijauhi. Rasulullah mengajarkan kepada kita agar berdo’a:
“Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari menyekutukanMu dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami memohon ampun kepadaMu dari (menyekutukanMu dengan sesuatu) yang kami tidak ketahui.” (HR. Ahmad dengan sanad shahih)
BAGIAN 16
PERUMPAMAAN ORANG YANG BERDO’A
KEPADA SELAIN ALLAH
1. Allah berfirman:
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat mere-butnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (Al-Hajj: 73)
Allah menyeru kepada segenap umat manusia agar mendengar-kan perumpamaan agung yang telah dibuatNya, dengan mengatakan:
“Sesungguhnya para wali dan orang-orang shalih serta lainnya yang kamu berdo’a kepadanya agar menolongmu saat kamu berada dalam kesulitan, sungguh mereka tak mampu melakukannya. Meskipun sekedar menciptakan makhluk yang sangat kecil pun mereka tidak bisa. Menciptakan lalat, misalnya. Bahkan jika lalat itu mengambil dari mereka sejumput makanan atau minuman, mereka tak mampu merebutnya kembali. Ini merupakan bukti atas kelemahan mereka, juga kelemahan lalat. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin eng-kau berdo’a kepada mereka, sebagai sesembahan selain Allah?”
Perumpamaan di atas merupakan pengingkaran dan penolakan yang amat keras terhadap orang yang berdo’a dan bermohon kepada selain Allah, baik kepada para nabi atau wali.
2. Allah berfirman:
“Hanya bagi Allah lah(hak mengabulkan) do’a yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do’a (ibadah) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (Ar-Ra’ad: 14)
Ayat di atas mengandung pengertian bahwa do’a, yang ia merupakan ibadah, wajib hanya ditujukan kepada Allah semata.
Orang-orang yang berdo’a dan memohon kepada selain Allah, tidak mendapatkan manfaat dari orang-orang yang mereka sembah. Mereka tidak bisa memperkenankan do’a barang sedikitpun.
Menurut riwayat dari Ali bin Abi Thalib , -menjelaskan perumpamaan orang yang berdo’a kepada selain Allah- yaitu seperti orang yang ingin mendapatkan air dari tepi sumur (hanya) dengan tangannya. Maka hanya dengan tangannya itu, tentu dia tidak akan mendapatkan air selama-lamanya, apatah lagi lalu air itu bisa sampai ke mulutnya?”
Menurut Mujahid,” (seperti orang yang) meminta air dengan lisannya sambil menunjuk-nunjuk air tersebut (tanpa berikhtiar selain-nya), maka selamanya air itu tak akan sampai padanya.”
Selanjutnya Allah menetapkan, bahwa hukum orang-orang yang berdo’a kepada selain Allah adalah kafir, do’a mereka hanya sia-sia belaka. Allah berfirman:
“Dan do’a (ibadah) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (Ar-Ra’ad: 14)
Maka dari itu, wahai saudaraku sesama muslim, jauhilah dari berdo’a dan memohon kepada selain Allah. Karena hal itu akan men-jadikanmu kafir dan tersesat. Berdo’alah hanya kepada Allah semata, sehingga engkau termasuk orang-orang beriman yang mengesakan-Nya.
(Dikutip dari terjemah kitab Jalan Golongan Yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
0 comments:
Post a Comment