222
Nilai Eksistensi Sebuah Do’a
Negeri Arab khususnya dan dunia pada umumnya sebelum diutusnya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam dipenuhi dengan kesesatan, penyimpangan, dan kebodohan, terlihat dari semaraknya penyembah batu-batuan dan pohon-pohon, pengingkaran terhadap hari kebangkitan, mempercayai perdukunan, tukang sihir, dan paranormal hingga penyimpangan yang sifatnya kemanusiaan, sosial, dan politik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki rahmat atas hamba-hambaNya, menolongnya dari kesesatan menuju hidayah, maka Allah mengutus seorang Rasul kepada mereka dari kalangannya sendiri yang mereka telah mengenal akhlaqnya, kejujurannya, serta amanahnya. Allah berfirman, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al Jum’ah: 2).
Awal mula yang diserukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seperti halnya Rasul-Rasul lainnya, menyeru untuk memurnikan ibadah kepada Allah AWJ dan meninggalkan peribadahan selainNya. Allah berfirman, “Dan Kami tidak mengurus seorang Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada tuhan yang haq melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS Al Anbiyaa: 25).
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan: Sembahlah Allah saja dan jauhilah thoghut.” (QS An Nahl: 36).
Inilah pembuka dakwah para Rasul, karenanya ia adalah pondasi yang dibangun di atasnya bangunan-bangunan lain, jika pondasinya rusak maka tak ada guna cabang-cabang lainnya, tidak ada manfaatnya sholat, puasa, haji, dan shodaqoh, serta seluruh ibadah-ibadah lainnya. Apabila pondasi telah cacat dan tauhid sudah berantakan tidak ada faidahnya amalan-amalan lainnya.
Allah berfirman, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS Al Kahfi: 110). Allah juga berfirman, “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS Al An’am: 88). “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi yang sebelummu, jika kamu mempersekutukan Tuhan niscaya akan hapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Az Zumar: 65).
Sungguh seluruh penduduk bumi amat sangat membutuhkan akan risalah yang dibawa olehnya Shalallahu ‘alaihi wassalam daripada kebutuhan mereka terhadap air hujan, sinar matahari, serta seabreg kebutuhan-kebutuhan lainnya, karena tidak ada kehidupan hati, kenikmatannya, kelezatannya, dan kebahagiaannya bahkan tak ada ketenangan hati dan tuma’ninahnya kecuali dengan mengenal Rabbnya, yang diibadahinya, dan Penciptanya dengan nama-namaNya, sifat-sifatNya, dan perbuatan-perbuatanNya, sehingga menjadikanNya lebih dicintai daripada selainNya, menjadikan segala usaha-usahanya dalam hal-hal yang akan mendekatkan diri padaNya dan keridloanNya.
Para pembaca semoga dirohmati Allah, doa adalah salah satu dari bentuk ibadah di samping ibadah badaniyah – seperti sholat, maaliyah – seperti zakat, atau ibadah maaliyah badaniyah – seperti haji, sebab ibadah adalah satu kata yang memiliki cakupan luas setiap apa yang dicintai dan diridlai oleh Allah dari perkataan dan perbuatan lahir maupun batin. Sepele memang nampaknya masalah doa ini, tetapi ironisnya banyak di antara kaum muslimin – kalau tidak keseluruhannya – berbeda-beda dalam hal menyikapinya, mengaplikasikannya, dan tata cara pelaksanaannya, wallahul musta’an.
Tidak dipungkiri kalau di sana masih banyak yang menganggap bahwa doa itu bukan termasuk ibadah, dengan kenyataan tak sedikit yang memohon di hadapan kuburan orang yang dianggap sholih, memohon di hadapan batu besar yang dikira memiliki keanehan, manggut-manggut di hadapan pohon besar yang tak dapat melihat dan mendengar. Tidak mustahil kalau di sana masih ada yang merasa tidak butuh kepada doa karena kesombongannya dan tak ada keimanannya. Satu perkara yang tidak dapat dipungkiri pula bahwa sebagian kaum bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam hal doa dan cara berdoa. Wa ilallahil musytaka.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, ketahuilah bahwa mayoritas orang-orang yang terjerumus ke dalam kemusyrikan, pangkal kesyirikannya ialah berdoa kepada selain Allah. Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Doa itu adalah ibadah.” (HR Ahmad 4/267, Tirmidzi 5/426, Al Hakim dalam Mustadrak 1/491 dan menshohihkannya, dan disepakati oleh Al Imam Adz Dzahabi, dari sahabat Nu’man bin Basyir RA). Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mati sedang ia berdoa kepada tandingan-tandingan selain Allah, maka akan masuk neraka.” (HR Al Bukhori no 4497 dari sahabat Abdullah ibnu Mas’ud). Hadits ini menerangkan bahwa doa adalah bagian dari ibadah-ibadah yang paling agung, termasuk ke dalam hak-hak Allah yang paling mulia, dimana jika seorang hamba memalingkannya kepada selain Allah dengan demikian ia berarti telah musyrik, telah menjadikan bagi Allah tandingan-tandinganNya dalam hal uluhiyahNya.
Namun apabila seseorang meminta doa kepada orang lain yang sholih, kemudian masih hidup, dan dalam perkara-perkara yang dimampuinya, maka tidaklah termasuk kemusyrikan, hal ini dibagi menjadi beberapa bagian di antaranya:
Pertama: meminta doa kepada seorang yang sholih untuk kemaslahatan umum kaum muslimin, seperti ini dibolehkan, dengan dalil hadits Anas tentang seorang laki-laki yang meminta doa dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam agar diturunkan hujan.
Kedua: meminta doa kepada orang lain untuk kemaslahatan dirinya, sebagian ulama membolehkan hal ini dan yang lainnya menyatakan tidak semestinya, karena dikhawatirkan termasuk dalam bab meminta-minta kepada orang lain dan dikhawatirkan pula yang meminta doa akan bersandar kepada doa orang lain sedang dia lupa mendoakan dirinya sendiri. (Untuk lebih jelasnya silahkan lihat Majmu’ul Fatawa jilid ke-1).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan jelas menyatakan bahwa doa itu adalah ibadah. Allah berfirman, “Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepadaKu niscaya akan kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepadaKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS Al Mu’min: 60). Adapun sisi pendalilah dari ayat ini yang menunjukkan bahwa doa itu adalah ibadah sebagai berikut:
Pertama: dalam ayat ini Allah telah memerintah dengan firmanNya, “Berdoalah kepadaKu.” Sedangkan Allah tidak akan memerintah kecuali yang wajib atau mustahab.
Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutnya sebagai ibadah, dengan firmanNya, “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepadaKu.”
Ketiga: Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas hamba-hambaNya yang berdoa dengan pengkabulan atas doa-doanya, dengan firmanNya, “Berdoalah kepadaKu niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”
Berkata Ibnul Araby Al Maliki rohimahullah, “Segi penamaan doa dengan ibadah sangatlah jelas, karena terkandung di dalamnya pengakuan dari seorang hamba akan ketidakberdayaan dan ketidakmampuannya, sedangkan segala kekuasaan dan kekuatan hanyalah milik Allah, yang demikian itulah ketundukan dan kepatuhan yang sempurna.”
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, di dalam banyak ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala mencegah dari berdoa kepada selainNya. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zholim.” (QS Yunus: 106). Dan Allah berfirman, “Maka janganlah kamu menyeru tuhan yang lain di samping Allah yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diadzab.” (QS Asy Syu’araa: 213). Pada ayat lain Allah menjelekkan perbuatan orang-orang musyrikin berdoa kepada selain Allah.
Allah berfirman, “Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. Dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan. Maka putusan sekarang ini adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dialah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaanNya dan menurunkan untukmu rizki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (QS Al Mu’min: 12-14).
Memurnikan ibadah kepadaNya adalah memurnikan doa kepadaNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukumi dengan kesesatan dan kerugian atas orang-orang yang berdoa kepada selainNya. Allah berfirman, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan doanya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari memperhatikan doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan pada hari kiamat niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS Al Ahqaaf: 5-6).
Dan Allah berfirman, “… yang berbuat demikian itulah Allah Tuhanmu kepunyaanNyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS Faathir: 13-14).
Seluruh nash-nash ini dan yang semisalnya di dalam Al Quranul Karim maupun sunnah yang suci sebagai penjelasan bagi orang-orang yang Allah bukakan penglihatannya dan terangkan hatinya serta lapangkan dadanya tentang betapa pentingnya doa dan begitu tinggi kedudukannya dalam aqidah al Islamiyah.
Dengan tingginya kedudukan doa dalam aqidah al Islamiyah, maka Allah mengancam orang-orang yang tidak tunduk padaNya dengan doa.
Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepadaKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS Al Mu’min: 60). Jadi sikap sombong dari berdoa kepada Allah dan menyelewengkan doa kepada selain Allah adalah bentuk kemaksiatan yang besar terhadapNya dan sebagai bentuk pembangkangan serta pendustaan terhadap nabi-nabiNya dan Rasul-RasulNya dimana telah sepakat risalah dan dakwah mereka menyeru kepada wajibnya mengesakan Allah dalam hal ibadah dan yang paling besarnya di antara ibadah itu adalah doa.
Sebagaimana halnya ibadah-ibadah lain memiliki cara dan etika, maka berdoapun demikian tak lepas dari itu, sebab kita mesti pahami bahwa agama itu adalah kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah dan kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang telah disyariatkan olehNya dan oleh RasulNya Shalallahu ‘alaihi wassalam, sebagai contoh misalnya suatu ketika Rasulullah berwudlu, kemudian setelah selesai darinya beliau mengatakan, “Ini adalah wudluku dan wudlu para nabi sebelumku, barangsiapa menambahi atau bahkan mengurangi maka ia telah berbuat jahat dan zholim.”
Contoh lainnya saat Rasulullah mengatakan, “Sholatlah kalian seperti kalian telah melihat aku sholat.” Demikian pula dengan pernyataan beliau, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka akan tertolak.” Dan begitu banyak contoh-contoh lainnya dalam hal ini. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan etika berdoa itu dalam firmanNya, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah diri dan suara yang lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al A’raaf: 55).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, betapa besar karunia dan kasih sayang Allah kepada makhlukNya, menjaga, memelihara, Maha Melihat, dan Maha Mendengar, sungguh benar apa yang dikatakan dalam sebuah syair:
Allah akan marah jika engkau tinggalkan meminta padaNya
Sedang Bani Adam jika dipinta akan marah.
Sudah semestinya memang kita selaku hambaNya yang fakir untuk meminta kepada Dzat Yang Maha Kaya lagi Maha Pemurah, segala urusan hanyalah milik Allah dan akan dikembalikan kepadaNya. Allah berfirman, “KepunyaanNyalah kerajaan langit-langit dan bumi. Dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.” (QS Al Hadid: 5).
Wallahu a’lam bishshowab wal ilmu indallah.
(Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hamzah Yusuf, dari Bulletin Al Wala wal Bara Edisi ke-13 Tahun ke-1 / 14 Maret 2003 M / 11 Muharrom 1424 H. Url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/13.htm)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki rahmat atas hamba-hambaNya, menolongnya dari kesesatan menuju hidayah, maka Allah mengutus seorang Rasul kepada mereka dari kalangannya sendiri yang mereka telah mengenal akhlaqnya, kejujurannya, serta amanahnya. Allah berfirman, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al Jum’ah: 2).
Awal mula yang diserukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seperti halnya Rasul-Rasul lainnya, menyeru untuk memurnikan ibadah kepada Allah AWJ dan meninggalkan peribadahan selainNya. Allah berfirman, “Dan Kami tidak mengurus seorang Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada tuhan yang haq melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS Al Anbiyaa: 25).
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan: Sembahlah Allah saja dan jauhilah thoghut.” (QS An Nahl: 36).
Inilah pembuka dakwah para Rasul, karenanya ia adalah pondasi yang dibangun di atasnya bangunan-bangunan lain, jika pondasinya rusak maka tak ada guna cabang-cabang lainnya, tidak ada manfaatnya sholat, puasa, haji, dan shodaqoh, serta seluruh ibadah-ibadah lainnya. Apabila pondasi telah cacat dan tauhid sudah berantakan tidak ada faidahnya amalan-amalan lainnya.
Allah berfirman, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS Al Kahfi: 110). Allah juga berfirman, “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS Al An’am: 88). “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi yang sebelummu, jika kamu mempersekutukan Tuhan niscaya akan hapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Az Zumar: 65).
Sungguh seluruh penduduk bumi amat sangat membutuhkan akan risalah yang dibawa olehnya Shalallahu ‘alaihi wassalam daripada kebutuhan mereka terhadap air hujan, sinar matahari, serta seabreg kebutuhan-kebutuhan lainnya, karena tidak ada kehidupan hati, kenikmatannya, kelezatannya, dan kebahagiaannya bahkan tak ada ketenangan hati dan tuma’ninahnya kecuali dengan mengenal Rabbnya, yang diibadahinya, dan Penciptanya dengan nama-namaNya, sifat-sifatNya, dan perbuatan-perbuatanNya, sehingga menjadikanNya lebih dicintai daripada selainNya, menjadikan segala usaha-usahanya dalam hal-hal yang akan mendekatkan diri padaNya dan keridloanNya.
Para pembaca semoga dirohmati Allah, doa adalah salah satu dari bentuk ibadah di samping ibadah badaniyah – seperti sholat, maaliyah – seperti zakat, atau ibadah maaliyah badaniyah – seperti haji, sebab ibadah adalah satu kata yang memiliki cakupan luas setiap apa yang dicintai dan diridlai oleh Allah dari perkataan dan perbuatan lahir maupun batin. Sepele memang nampaknya masalah doa ini, tetapi ironisnya banyak di antara kaum muslimin – kalau tidak keseluruhannya – berbeda-beda dalam hal menyikapinya, mengaplikasikannya, dan tata cara pelaksanaannya, wallahul musta’an.
Tidak dipungkiri kalau di sana masih banyak yang menganggap bahwa doa itu bukan termasuk ibadah, dengan kenyataan tak sedikit yang memohon di hadapan kuburan orang yang dianggap sholih, memohon di hadapan batu besar yang dikira memiliki keanehan, manggut-manggut di hadapan pohon besar yang tak dapat melihat dan mendengar. Tidak mustahil kalau di sana masih ada yang merasa tidak butuh kepada doa karena kesombongannya dan tak ada keimanannya. Satu perkara yang tidak dapat dipungkiri pula bahwa sebagian kaum bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam hal doa dan cara berdoa. Wa ilallahil musytaka.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, ketahuilah bahwa mayoritas orang-orang yang terjerumus ke dalam kemusyrikan, pangkal kesyirikannya ialah berdoa kepada selain Allah. Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Doa itu adalah ibadah.” (HR Ahmad 4/267, Tirmidzi 5/426, Al Hakim dalam Mustadrak 1/491 dan menshohihkannya, dan disepakati oleh Al Imam Adz Dzahabi, dari sahabat Nu’man bin Basyir RA). Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mati sedang ia berdoa kepada tandingan-tandingan selain Allah, maka akan masuk neraka.” (HR Al Bukhori no 4497 dari sahabat Abdullah ibnu Mas’ud). Hadits ini menerangkan bahwa doa adalah bagian dari ibadah-ibadah yang paling agung, termasuk ke dalam hak-hak Allah yang paling mulia, dimana jika seorang hamba memalingkannya kepada selain Allah dengan demikian ia berarti telah musyrik, telah menjadikan bagi Allah tandingan-tandinganNya dalam hal uluhiyahNya.
Namun apabila seseorang meminta doa kepada orang lain yang sholih, kemudian masih hidup, dan dalam perkara-perkara yang dimampuinya, maka tidaklah termasuk kemusyrikan, hal ini dibagi menjadi beberapa bagian di antaranya:
Pertama: meminta doa kepada seorang yang sholih untuk kemaslahatan umum kaum muslimin, seperti ini dibolehkan, dengan dalil hadits Anas tentang seorang laki-laki yang meminta doa dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam agar diturunkan hujan.
Kedua: meminta doa kepada orang lain untuk kemaslahatan dirinya, sebagian ulama membolehkan hal ini dan yang lainnya menyatakan tidak semestinya, karena dikhawatirkan termasuk dalam bab meminta-minta kepada orang lain dan dikhawatirkan pula yang meminta doa akan bersandar kepada doa orang lain sedang dia lupa mendoakan dirinya sendiri. (Untuk lebih jelasnya silahkan lihat Majmu’ul Fatawa jilid ke-1).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan jelas menyatakan bahwa doa itu adalah ibadah. Allah berfirman, “Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepadaKu niscaya akan kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepadaKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS Al Mu’min: 60). Adapun sisi pendalilah dari ayat ini yang menunjukkan bahwa doa itu adalah ibadah sebagai berikut:
Pertama: dalam ayat ini Allah telah memerintah dengan firmanNya, “Berdoalah kepadaKu.” Sedangkan Allah tidak akan memerintah kecuali yang wajib atau mustahab.
Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutnya sebagai ibadah, dengan firmanNya, “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepadaKu.”
Ketiga: Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas hamba-hambaNya yang berdoa dengan pengkabulan atas doa-doanya, dengan firmanNya, “Berdoalah kepadaKu niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”
Berkata Ibnul Araby Al Maliki rohimahullah, “Segi penamaan doa dengan ibadah sangatlah jelas, karena terkandung di dalamnya pengakuan dari seorang hamba akan ketidakberdayaan dan ketidakmampuannya, sedangkan segala kekuasaan dan kekuatan hanyalah milik Allah, yang demikian itulah ketundukan dan kepatuhan yang sempurna.”
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, di dalam banyak ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala mencegah dari berdoa kepada selainNya. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zholim.” (QS Yunus: 106). Dan Allah berfirman, “Maka janganlah kamu menyeru tuhan yang lain di samping Allah yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diadzab.” (QS Asy Syu’araa: 213). Pada ayat lain Allah menjelekkan perbuatan orang-orang musyrikin berdoa kepada selain Allah.
Allah berfirman, “Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. Dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan. Maka putusan sekarang ini adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dialah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaanNya dan menurunkan untukmu rizki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (QS Al Mu’min: 12-14).
Memurnikan ibadah kepadaNya adalah memurnikan doa kepadaNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukumi dengan kesesatan dan kerugian atas orang-orang yang berdoa kepada selainNya. Allah berfirman, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan doanya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari memperhatikan doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan pada hari kiamat niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS Al Ahqaaf: 5-6).
Dan Allah berfirman, “… yang berbuat demikian itulah Allah Tuhanmu kepunyaanNyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS Faathir: 13-14).
Seluruh nash-nash ini dan yang semisalnya di dalam Al Quranul Karim maupun sunnah yang suci sebagai penjelasan bagi orang-orang yang Allah bukakan penglihatannya dan terangkan hatinya serta lapangkan dadanya tentang betapa pentingnya doa dan begitu tinggi kedudukannya dalam aqidah al Islamiyah.
Dengan tingginya kedudukan doa dalam aqidah al Islamiyah, maka Allah mengancam orang-orang yang tidak tunduk padaNya dengan doa.
Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepadaKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS Al Mu’min: 60). Jadi sikap sombong dari berdoa kepada Allah dan menyelewengkan doa kepada selain Allah adalah bentuk kemaksiatan yang besar terhadapNya dan sebagai bentuk pembangkangan serta pendustaan terhadap nabi-nabiNya dan Rasul-RasulNya dimana telah sepakat risalah dan dakwah mereka menyeru kepada wajibnya mengesakan Allah dalam hal ibadah dan yang paling besarnya di antara ibadah itu adalah doa.
Sebagaimana halnya ibadah-ibadah lain memiliki cara dan etika, maka berdoapun demikian tak lepas dari itu, sebab kita mesti pahami bahwa agama itu adalah kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah dan kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang telah disyariatkan olehNya dan oleh RasulNya Shalallahu ‘alaihi wassalam, sebagai contoh misalnya suatu ketika Rasulullah berwudlu, kemudian setelah selesai darinya beliau mengatakan, “Ini adalah wudluku dan wudlu para nabi sebelumku, barangsiapa menambahi atau bahkan mengurangi maka ia telah berbuat jahat dan zholim.”
Contoh lainnya saat Rasulullah mengatakan, “Sholatlah kalian seperti kalian telah melihat aku sholat.” Demikian pula dengan pernyataan beliau, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka akan tertolak.” Dan begitu banyak contoh-contoh lainnya dalam hal ini. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan etika berdoa itu dalam firmanNya, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah diri dan suara yang lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al A’raaf: 55).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, betapa besar karunia dan kasih sayang Allah kepada makhlukNya, menjaga, memelihara, Maha Melihat, dan Maha Mendengar, sungguh benar apa yang dikatakan dalam sebuah syair:
Allah akan marah jika engkau tinggalkan meminta padaNya
Sedang Bani Adam jika dipinta akan marah.
Sudah semestinya memang kita selaku hambaNya yang fakir untuk meminta kepada Dzat Yang Maha Kaya lagi Maha Pemurah, segala urusan hanyalah milik Allah dan akan dikembalikan kepadaNya. Allah berfirman, “KepunyaanNyalah kerajaan langit-langit dan bumi. Dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.” (QS Al Hadid: 5).
Wallahu a’lam bishshowab wal ilmu indallah.
(Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hamzah Yusuf, dari Bulletin Al Wala wal Bara Edisi ke-13 Tahun ke-1 / 14 Maret 2003 M / 11 Muharrom 1424 H. Url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/13.htm)
0 comments:
Post a Comment