222
Serial Tafsir Al Quran – Surat Al Baqarah ayat 2 – 3
Tafsir Surat Al-Baqarah 2-3)*
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
Ðáß ÇáßÊÇÈ áÇ ÑíÈ Ýíå åÏì ááãÊÞíä ( ) ÇáÐíä íÄãäæä ÈÇáÛíÈ æíÞíãæä ÇáÕáæÉ æããÇ ÑÒÞäåã íäÝÞæä ( )
Artinya :
Ayat 2 : “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
Ayat 3 : “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka…”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menafsirkan orang-orang bertaqwa adalah orang-orang yang dapat mendapat manfaat dengan adanya ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat syar’iyah.
Hidayah ada dua macam yaitu hidayah bayan dan hidayah taufiq. Dan orang-orang bertaqwa yang dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat tersebut, mereka mendapatkan dua macam hidayah tersebut. Adapun selain orang-orang bertaqwa, tidak mendapatkan hidayah taufiq. Mereka tahu akan kebaikan dan kebenaran tetapi tidak diberi kemudahan untuk beramal dan mengikuti kebaikan serta kebenaran tersebut. Oleh karena itu ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman As Sa’di bahwa hidayah bayan tanpa disertai hidayah taufiq untuk beramal dengannya, maka pada hakikatnya hal demikian bukanlah hidayah, karena kebenaran atau ilmu yang datang kepadanya bukan memberikan kemanfaatan pada dirinya, tetapi mencelakakan dirinya di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala .
åÏì ááãÊÞíä , petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, setelah itu Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menerangkan, Allah Subhanahu wa ta’ala mensifati orang-orang yang bertaqwa itu dengan keyakinan-keyakinan pada mereka dan amalan-amalan bathin serta amalan-amalan yang dzahir.
Pada ayat selanjutnya,
ÇáÐíä íÄãäæä ÈÇáÛíÈ
Orang-orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang beriman kepada perkara yang ghoib yang berarti ini adalah keyakinan-keyakinan mereka.
æíÞíãæä ÇáÕáæÉ
Dan mereka menegakkan sholat, yang terkumpul padanya amalan dzahir dan batin. Amalan dzahir yang nampak pada tubuhnya yang diucapkan dengan lisannya dan amalan bathin, amalan sholat yang dikerjakan dengan khusyuk.
æããÇ ÑÒÞäåã íäÝÞæä
Dan mereka infaqkan sebagian rizqi yang dikaruniakan kepada mereka.
Itu adalah beberapa sifat-sifat orang-orang bertaqwa yang Allah Subhanahu wa ta’ala jelaskan. Allah Subhanahu wa ta’ala mensifati mereka dengan aqidah, amalan-amalan bathin dan amalan-amalan dzahir.
Allah Subhanahu wa ta’ala menyatakan ÇáÐíä íÄãäæä ÈÇáÛíÈ , Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan, hakikat iman adalah pembenaran yang sempurna terhadap segala sesuatu yang dikabarkan oleh para rasul dan pembenaran ini mengandung keterikatan anggota badan, artinya beramal dengannya. Maka perkara keimanan bukan beriman kapada segala sesuatu yang bisa diketahui oleh panca indera (bisa dilihat, didengar, dicium baunya). Hal ini disebabkan karena apabila beriman itu pada segala sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera, berarti tidak dapat dibedakan antara yang mu’min dengan yang kafir.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan tentang taubat yang diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala sampai matahari terbit dari arah tenggelamnya, kalau hal ini terjadi maka seluruh penduduk bumi akan beriman, akan tetapi imannya tidaklah bermanfaat. Ini menunjukkan kalau seandainya iman itu pada segala sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera, maka semua orang akan beriman, sehingga tidak bisa dibedakan mana yang mu’min maupun yang kafir.
Iman itu adalah beriman kepada perkara yang ghaib, yakni perkara yang tidak bisa di lihat, atau dipersaksikan. Dan beriman kepada perkara yang ghaib karena adanya khabar atau berita dari Allah Subhanahu wa ta’ala, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (diterangkan di dalam Al-Quran dan As sunnah). Maka keimanan yang seperti ini dapat terbedakan/terpisahkan yang muslim dari yang kafir.
Beriman kepada perkara yang ghaib berarti pembenaran yang semata-mata karena Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul Nya, bukan karena yang lainnya. Maka seorang mu’min adalah seorang yang beriman kepada segala sesuatu yang Allah Subhanahu wa ta’ala kabarkan atau Rasulullah beritakan. Apakah perkara tersebut bisa diketahui dan dipahami ataukah belum, masuk di akal ataukah tidak, maka seorang mu’min akan tetap beriman, kalau benar dari Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul Nya, tanpa memperdulikan itu mutawatir ataukah ahad. Karena iman itu letaknya disini (menunjuk pada hati), sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
ÇáÊÞæì ååäÇ æíÔíÑ Åáì ÕÏÑå ËáÇË ãÑÇÊ
Taqwa itu di sini dan beliau menunjuk ke dadanya (tiga kali) .. (HR. Muslim)
Keadaan orang yang bertaqwa berbeda dengan keadaan orang-orang zindiq yang mereka mendustakan perkara-perkara ghaib, karena akal-akal mereka yang dangkal, yang tidak sampai kepada apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala inginkan. Hal ini disebabkan akal mereka yang tidak mau tunduk kepada wahyu sehingga mendustakan segala sesuatu yang ilmunya tidak sampai kepadanya.
Dengan sebab itu, syaikh Abdurrahman As Sa’di menerangkan bahwa akal-akal mereka rusak dan pemikiran-pemikiran mereka kacau. Sedangkan akal-akal orang yang beriman, membenarkan, dan terbimbing dengan petunjuk Allah maka akal-akal mereka itu bersih, sehat, normal karena tunduk kepada wahyunya Allah.
Kalau tadi disebutkan beriman kepada perkara ghaib, termasuk beriman kepada yg ghaib itu adalah beriman kepada segala sesuatu perkara yang Allah dan Rosul Nya kabarkan dari perkara ghaib, baik itu yang telah lalu (sebelum dan setelah Allah menciptakan langit dan bumi), atau ceritanya para Nabi dan Rasul sebelum diutusnya Rasulullah. Begitu juga termasuk beriman kepada yang ghaib adalah beriman dengan perkara-perkara yang akan datang, juga perkara yang akan terjadi di akhirat. Yakni fitnah kubur, adzab /nikmat kubur, dibangkitkannya seluruh manusia dari kubur, adanya hisab, mizan, sirath al-mustaqim dan perkara lain yang ada di akhirat nanti.
Termasuk pula beriman kepada hakikat, sifat-sifat yang Allah miliki. Allah mungkin tidak memberitahukan kepada kita, tapi kita yakin bahwa apa yang Allah beritakan tentang dirinya itu adalah benar.
Demikian juga beriman kepada segala sesuatu yang dikabarkan oleh para rasul tentang perkara ghaib, atau perkara yang akan terjadi di akhirat, atau sifat-sifat Allah. Maka mereka (orang-orang yang bertaqwa) itu beriman kepada sifat-sifat Allah dan wujudnya sifat tersebut. Dan mereka itu berkeyakinan adanya sifat-sifat tersebut, walaupun mereka belum/tidak memahami bagaimana sifat-sifat tersebut.
Seperti Allah nyatakan :
ßá ãä ÚáíåÇ ÝÇä ( ) æíÈÞì æÌå ÑÈß ÐÇáÌáÇá æÇáÇßÑÇã
Segala sesuatu yang ada di muka bumi adalah fana, dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang memiliki ketinggian dan kemulyaan. (Ar Rahman 26-27).
Maka kita yakin bahwa Allah memiliki wajah, sebagaimana Allah ceritakan mengenai diri Nya, kita yakin walau kita belum tahu seperti apa wajah Allah.
Kemudian Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata, mereka itu menegakkan sholat. Allah tidak menyatakan ‘melakukan sholat’ (íÝÚáæä ÇáÕáÇÉ ) atau (íÃÊæä ÇáÕáÇÉ ) akan tetapi menegakkan sholat ( íÞíãæä ÇáÕáæÉ ), karena tidak cukup dalam melakuan sholat semata-mata melakukan dalam bentuk dzahirnya. Yakni setelah berwudhu, lalu takbir sampai salam. Menegakkan sholat maknanya adalah menegakkannya secara dzahir dan secara bathin. Secara dzahir; menyempurnakan rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannya dan syarat-syaratnya. Menegakkan secara bathin, maknanya adalah menegakkan ruhnya sholat, yaitu hadirnya hati pada waktu kita sholat dan sekaligus merenungi apa yang diucapkan dan dikerjakan.
Sehingga, Allah nyatakan bahwasanya terdapat keutamaan shalat secara dzahir maupun bathin :
Çä ÇáÕáæÉ Êäåì Úä ÇáÝÍÔÇÁ æÇáãäßÑ
Sesungguhnya sholat itu akan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Seseorang tidak akan mendapatkan balasan melainkan apa yang dia pahami, apa yang dia mengerti tentangnya. Maka dari sinilah orang yang menegakkan sholat itu secara dzahirnya sama, rukun, kewajiban dan syarat sama, tetapi di sisi Allah memiliki balasan dan timbangan yang lain, diantaranya karena kekhusyukan orang yang melakukannya dan kepahaman dia atas apa yang dia kerjakan.
Imam As-Syafi’i pernah mengatakan ” Bahasa Arab itu wajib, minimal apa yang dia ucapkan di dalam sholat.” Disebut sholat berarti termasuk sholat wajib maupun shalat sunnah.
Wallahu Alam.
(Kitab Taisir Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, Penulis Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di. Dibahas oleh Ustadz Muhammad Ikhsan, Pimpinan Ponpes Difa’anis Sunnah, Sewon, Bantul setiap hari Kamis pukul 16.00 – 17.30 di Masjid Al Hasanah, depan Mirota Kampus Jogjakarta.)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
Ðáß ÇáßÊÇÈ áÇ ÑíÈ Ýíå åÏì ááãÊÞíä ( ) ÇáÐíä íÄãäæä ÈÇáÛíÈ æíÞíãæä ÇáÕáæÉ æããÇ ÑÒÞäåã íäÝÞæä ( )
Artinya :
Ayat 2 : “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
Ayat 3 : “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka…”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menafsirkan orang-orang bertaqwa adalah orang-orang yang dapat mendapat manfaat dengan adanya ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat syar’iyah.
Hidayah ada dua macam yaitu hidayah bayan dan hidayah taufiq. Dan orang-orang bertaqwa yang dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat tersebut, mereka mendapatkan dua macam hidayah tersebut. Adapun selain orang-orang bertaqwa, tidak mendapatkan hidayah taufiq. Mereka tahu akan kebaikan dan kebenaran tetapi tidak diberi kemudahan untuk beramal dan mengikuti kebaikan serta kebenaran tersebut. Oleh karena itu ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman As Sa’di bahwa hidayah bayan tanpa disertai hidayah taufiq untuk beramal dengannya, maka pada hakikatnya hal demikian bukanlah hidayah, karena kebenaran atau ilmu yang datang kepadanya bukan memberikan kemanfaatan pada dirinya, tetapi mencelakakan dirinya di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala .
åÏì ááãÊÞíä , petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, setelah itu Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menerangkan, Allah Subhanahu wa ta’ala mensifati orang-orang yang bertaqwa itu dengan keyakinan-keyakinan pada mereka dan amalan-amalan bathin serta amalan-amalan yang dzahir.
Pada ayat selanjutnya,
ÇáÐíä íÄãäæä ÈÇáÛíÈ
Orang-orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang beriman kepada perkara yang ghoib yang berarti ini adalah keyakinan-keyakinan mereka.
æíÞíãæä ÇáÕáæÉ
Dan mereka menegakkan sholat, yang terkumpul padanya amalan dzahir dan batin. Amalan dzahir yang nampak pada tubuhnya yang diucapkan dengan lisannya dan amalan bathin, amalan sholat yang dikerjakan dengan khusyuk.
æããÇ ÑÒÞäåã íäÝÞæä
Dan mereka infaqkan sebagian rizqi yang dikaruniakan kepada mereka.
Itu adalah beberapa sifat-sifat orang-orang bertaqwa yang Allah Subhanahu wa ta’ala jelaskan. Allah Subhanahu wa ta’ala mensifati mereka dengan aqidah, amalan-amalan bathin dan amalan-amalan dzahir.
Allah Subhanahu wa ta’ala menyatakan ÇáÐíä íÄãäæä ÈÇáÛíÈ , Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan, hakikat iman adalah pembenaran yang sempurna terhadap segala sesuatu yang dikabarkan oleh para rasul dan pembenaran ini mengandung keterikatan anggota badan, artinya beramal dengannya. Maka perkara keimanan bukan beriman kapada segala sesuatu yang bisa diketahui oleh panca indera (bisa dilihat, didengar, dicium baunya). Hal ini disebabkan karena apabila beriman itu pada segala sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera, berarti tidak dapat dibedakan antara yang mu’min dengan yang kafir.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan tentang taubat yang diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala sampai matahari terbit dari arah tenggelamnya, kalau hal ini terjadi maka seluruh penduduk bumi akan beriman, akan tetapi imannya tidaklah bermanfaat. Ini menunjukkan kalau seandainya iman itu pada segala sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera, maka semua orang akan beriman, sehingga tidak bisa dibedakan mana yang mu’min maupun yang kafir.
Iman itu adalah beriman kepada perkara yang ghaib, yakni perkara yang tidak bisa di lihat, atau dipersaksikan. Dan beriman kepada perkara yang ghaib karena adanya khabar atau berita dari Allah Subhanahu wa ta’ala, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (diterangkan di dalam Al-Quran dan As sunnah). Maka keimanan yang seperti ini dapat terbedakan/terpisahkan yang muslim dari yang kafir.
Beriman kepada perkara yang ghaib berarti pembenaran yang semata-mata karena Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul Nya, bukan karena yang lainnya. Maka seorang mu’min adalah seorang yang beriman kepada segala sesuatu yang Allah Subhanahu wa ta’ala kabarkan atau Rasulullah beritakan. Apakah perkara tersebut bisa diketahui dan dipahami ataukah belum, masuk di akal ataukah tidak, maka seorang mu’min akan tetap beriman, kalau benar dari Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul Nya, tanpa memperdulikan itu mutawatir ataukah ahad. Karena iman itu letaknya disini (menunjuk pada hati), sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
ÇáÊÞæì ååäÇ æíÔíÑ Åáì ÕÏÑå ËáÇË ãÑÇÊ
Taqwa itu di sini dan beliau menunjuk ke dadanya (tiga kali) .. (HR. Muslim)
Keadaan orang yang bertaqwa berbeda dengan keadaan orang-orang zindiq yang mereka mendustakan perkara-perkara ghaib, karena akal-akal mereka yang dangkal, yang tidak sampai kepada apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala inginkan. Hal ini disebabkan akal mereka yang tidak mau tunduk kepada wahyu sehingga mendustakan segala sesuatu yang ilmunya tidak sampai kepadanya.
Dengan sebab itu, syaikh Abdurrahman As Sa’di menerangkan bahwa akal-akal mereka rusak dan pemikiran-pemikiran mereka kacau. Sedangkan akal-akal orang yang beriman, membenarkan, dan terbimbing dengan petunjuk Allah maka akal-akal mereka itu bersih, sehat, normal karena tunduk kepada wahyunya Allah.
Kalau tadi disebutkan beriman kepada perkara ghaib, termasuk beriman kepada yg ghaib itu adalah beriman kepada segala sesuatu perkara yang Allah dan Rosul Nya kabarkan dari perkara ghaib, baik itu yang telah lalu (sebelum dan setelah Allah menciptakan langit dan bumi), atau ceritanya para Nabi dan Rasul sebelum diutusnya Rasulullah. Begitu juga termasuk beriman kepada yang ghaib adalah beriman dengan perkara-perkara yang akan datang, juga perkara yang akan terjadi di akhirat. Yakni fitnah kubur, adzab /nikmat kubur, dibangkitkannya seluruh manusia dari kubur, adanya hisab, mizan, sirath al-mustaqim dan perkara lain yang ada di akhirat nanti.
Termasuk pula beriman kepada hakikat, sifat-sifat yang Allah miliki. Allah mungkin tidak memberitahukan kepada kita, tapi kita yakin bahwa apa yang Allah beritakan tentang dirinya itu adalah benar.
Demikian juga beriman kepada segala sesuatu yang dikabarkan oleh para rasul tentang perkara ghaib, atau perkara yang akan terjadi di akhirat, atau sifat-sifat Allah. Maka mereka (orang-orang yang bertaqwa) itu beriman kepada sifat-sifat Allah dan wujudnya sifat tersebut. Dan mereka itu berkeyakinan adanya sifat-sifat tersebut, walaupun mereka belum/tidak memahami bagaimana sifat-sifat tersebut.
Seperti Allah nyatakan :
ßá ãä ÚáíåÇ ÝÇä ( ) æíÈÞì æÌå ÑÈß ÐÇáÌáÇá æÇáÇßÑÇã
Segala sesuatu yang ada di muka bumi adalah fana, dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang memiliki ketinggian dan kemulyaan. (Ar Rahman 26-27).
Maka kita yakin bahwa Allah memiliki wajah, sebagaimana Allah ceritakan mengenai diri Nya, kita yakin walau kita belum tahu seperti apa wajah Allah.
Kemudian Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata, mereka itu menegakkan sholat. Allah tidak menyatakan ‘melakukan sholat’ (íÝÚáæä ÇáÕáÇÉ ) atau (íÃÊæä ÇáÕáÇÉ ) akan tetapi menegakkan sholat ( íÞíãæä ÇáÕáæÉ ), karena tidak cukup dalam melakuan sholat semata-mata melakukan dalam bentuk dzahirnya. Yakni setelah berwudhu, lalu takbir sampai salam. Menegakkan sholat maknanya adalah menegakkannya secara dzahir dan secara bathin. Secara dzahir; menyempurnakan rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannya dan syarat-syaratnya. Menegakkan secara bathin, maknanya adalah menegakkan ruhnya sholat, yaitu hadirnya hati pada waktu kita sholat dan sekaligus merenungi apa yang diucapkan dan dikerjakan.
Sehingga, Allah nyatakan bahwasanya terdapat keutamaan shalat secara dzahir maupun bathin :
Çä ÇáÕáæÉ Êäåì Úä ÇáÝÍÔÇÁ æÇáãäßÑ
Sesungguhnya sholat itu akan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Seseorang tidak akan mendapatkan balasan melainkan apa yang dia pahami, apa yang dia mengerti tentangnya. Maka dari sinilah orang yang menegakkan sholat itu secara dzahirnya sama, rukun, kewajiban dan syarat sama, tetapi di sisi Allah memiliki balasan dan timbangan yang lain, diantaranya karena kekhusyukan orang yang melakukannya dan kepahaman dia atas apa yang dia kerjakan.
Imam As-Syafi’i pernah mengatakan ” Bahasa Arab itu wajib, minimal apa yang dia ucapkan di dalam sholat.” Disebut sholat berarti termasuk sholat wajib maupun shalat sunnah.
Wallahu Alam.
(Kitab Taisir Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, Penulis Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di. Dibahas oleh Ustadz Muhammad Ikhsan, Pimpinan Ponpes Difa’anis Sunnah, Sewon, Bantul setiap hari Kamis pukul 16.00 – 17.30 di Masjid Al Hasanah, depan Mirota Kampus Jogjakarta.)
0 comments:
Post a Comment