222
Siapakah ath-Thaifah al-Manshurah?
Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar -hafidzahullah-
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah (no. 7311) meriwayatkan sebuah hadits dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ، حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ ا وَهُمْ ظَاهِرُونَ
“Pasti akan selalu ada sekelompok orang dari umatku yang senantiasa meraih kemenangan, sampai ketetapan dari Allah ‘azza wa jalla datang menghampiri mereka. Dan mereka pun tetap di atas kemenangannya.”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah (no. 1921) dengan lafadz yang sedikit berbeda. Sebagian ulama hadits (Fathul Bari hadits no. 7311) menilai riwayat di atas termasuk tsulatsiyat (hanya dipisahkan oleh tiga perawi sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di dalam Shahih al-Imam al-Bukhari. Mengapa dinilai tsulatsiyat, sementara jumlah perawi antara al-Bukhari dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada empat?
Hadits ini didengar oleh al-Bukhari dari guru beliau yang bernama Ubaidullah bin Musa al-‘Absi al-Kufi rahimahullah. Ternyata beliau terhitung sebagai guru al-Bukhari yang telah berusia lanjut dan termasuk dalam generasi tabi’ut tabi’in.
Ubaidullah bin Musa mendengar hadits di atas dari seorang ulama tabi’in yang bernama Ismail bin Abi Khalid rahimahullah. Guru Ismail pun seorang kibar tabi’in bernama Qais bin Abi Hazim. Qais sendiri dinyatakan oleh ulama hadits sebagai seorang mukhadram, karena pernah merasakan masa jahiliah. Ketika beliau berangkat ke Madinah untuk berbaiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di tengah perjalanan beliau mendengar berita wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadits ini, adalah salah seorang guru Qais bin Abi Hazim. Karena faktor kedekatan sanad inilah, sebagian ulama hadits menilai riwayat ini sebanding dan sejajar dengan riwayat tingkat tsulatsiyat.
Uniknya, seluruh perawi di dalam sanad al-Bukhari seluruhnya berasal dari kota Kufah. Wallahu a’lam.
Kedudukan Hadits
Hadits Thaifah di atas tidak hanya diriwayatkan oleh al-Mughirah radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain beliau, sejumlah sahabat juga meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani rahimahullah (as-Silsilah ash-Shahihah nomer 270) menyebutkannya secara ringkas,
- Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu (ar-Ramahurmuzi dalam al-Muhaddits al-Fashil 1/6)
- Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma (al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
- Tsauban radhiallahu ‘anhu Maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan al-Hakim)
- Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu (Muslim)
- Qurrah al-Muzani radhiallahu ‘anhu (Ahmad)
- Abu Umamah radhiallahu ‘anhu (Ahmad)
- Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu (al-Hakim)
Walaupun ditemukan beberapa perbedaan lafadz, hadits di atas tetaplah mempunyai satu makna. Beberapa tambahan lafadz juga sangat membantu untuk memahami hadits tersebut secara lebih sempurna. Mudah-mudahan dengan memadukan seluruh lafadz dan beberapa hadits yang terkait, kita akan memperoleh gambaran nyata, siapakah yang layak disebut sebagai Thaifah Manshurah?
Makna Hadits
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah jaminan, kabar gembira, sekaligus hiburan. Kata-kata beliau adalah jaminan pasti bahwa siapa pun orangnya yang bertekad, bercita-cita, dan memiliki kesungguhan untuk memperjuangkan agama Allah ‘azza wa jalla, pertolongan-Nya akan selalu menyertai.
Hal ini sekaligus kabar gembira dan hiburan bagi mereka yang terkadang merasa terasing, dianggap aneh, bahkan merasa “sedikit” dalam jumlah, bahwa pengikut kebenaran memanglah demikian. Mereka pun selalu optimis, sebagai ath-Thaifah al-Manshurah (kelompok yang ditolong Allah ‘azza wa jalla) sekaligus al-Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat).
Ya, ath-Thaifah al-Manshurah memang hanya segelintir orang, komunitasnya sedikit, dan sangat kecil apabila dibandingkan dengan jumlah kaum muslimin secara keseluruhan. Namun, kenyataan ini tentu tidak perlu membuat mereka bersedih, apalagi putus asa. Ingat-ingatlah selalu, janji Allah ‘azza wa jalla adalah benar. Dia akan selalu menolong dan membela. Lebih-lebih lagi, ath-Thaifah al-Manshurah akan tetap eksis sampai hari kiamat!
Ada pertanyaan yang terselip ketika membahas hadits ini. Beberapa riwayat sahih menyebutkan bahwa hari kiamat tidak akan terjadi sampai kondisi orang-orang yang tersisa adalah orang-orang yang jahat. Bahkan, sebuah riwayat mengatakan pada saat itu, tidak ada lagi orang yang menyebut-sebut nama Allah ‘azza wa jalla. Padahal di dalam hadits ini, ath-Thaifah al-Manshurah keberadaannya akan tetap bertahan sampai hari kiamat. Bagaimana ini?
Para ulama hadits, di antaranya adalah al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim, mencoba memadukan riwayat-riwayat tersebut. Hasilnya?
Ath-Thaifah al-Manshurah sebagai sekelompok orang yang memperjuangkan kebenaran akan terus eksis di setiap masa. Namun, mendekati kebangkitan kiamat, Allah ‘azza wa jalla akan mengirimkan angin lembut yang bertiup melewati ketiak setiap orang. Angin itu akan mencabut ruh mukmin dan mukminah sehingga tidak ada lagi yang tersisa hidup kecuali orang-orang jahat. Ringkasnya, keberadaan ath-Thaifah al-Manshurah yang disebut sampai hari kiamat berbangkit maksudnya adalah sampai menjelang datangnya kiamat.
Keterangan ini didukung oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat Muslim (no. 2937) dari sahabat an-Nawwas bin Sam’an radhiallahu ‘anhu. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ بَعَثَ اللهُ رِيحًا طَيِّبَةً، فَتَأْخُذُهُمْ تَحْتَ آبَاطِهِمْ، فَتَقْبِضُ رُوحَ كُلِّ مُؤْمِنٍ وَكُلِّ مُسْلِمٍ، وَيَبْقَى شِرَارُ النَّاسِ، يَتَهَارَجُونَ فِيهَاتَهَارُجَ الْحُمُرِ، فَعَلَيْهِمْ تَقُومُ السَّاعَةُ.
“Ketika manusia dalam kondisi semacam itu, Allah ‘azza wa jalla mengirimkan angin lembut yang bertiup di bawah ketiak mereka. Lalu angin tersebut mencabut ruh setiap mukmin dan mukminah. Kemudian yang tersisa hidup hanyalah orang-orang jahat. Mereka melakukan hubungan badan di hadapan orang lain, persis yang dilakukan keledai. Kepada orang-orang semacam itulah, hari kiamat akan dibangkitkan.”
Ath-Thaifah Al-Manshurah adalah Ahlul Hadits
Siapakah yang lebih mengerti dan memahami hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Jawabannya secara pasti dan tegas adalah para ulama hadits. Bukankah merekalah yang meriwayatkannya untuk kita? Bukankah merekalah yang menjadi mata rantai antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada kita? Apakah kita akan menyerahkan kepada orang-orang yang tidak berkompeten dan berwenang sama sekali, untuk memahami hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Marilah kita membaca dan merenungkan pernyataan para ulama besar di bawah ini tentang siapakah ath-Thaifah al-Manshurah itu.
Al-Imam al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah menyebutkan beberapa keterangan ulama tentang mereka di dalam kitab beliau, Syaraf Ashabil Hadits (hlm. 59—62).
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah menjelaskan, “Mereka adalah para ulama!”
Di lain kesempatan beliau menyatakan, “Mereka adalah Ashabul Hadits.”
Al-Imam Yazid bin Harun, Abdullah bin al-Mubarak, Ali bin Abdillah al-Madini, Ahmad bin Sinan, dan sejumlah ulama lainnya rahimahumullah mengatakan, “Mereka adalah Ashabul Hadits.”
Bahkan, secara tegas al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Seandainya yang dimaksud dengan ath-Thaifah al-Manshurah bukan Ashabul Hadits, aku tidak tahu lagi, siapakah mereka sesungguhnya?”
Kemudian, siapakah Ashabul Hadits itu?
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah (Syarah Shahih Muslim) menerangkan bahwa mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang gagah berani berperang, kaum fuqaha, orang-orang yang menekuni bidang hadits, ahli-ahli zuhud, penegak amar ma’ruf nahi munkar, atau pelaku-pelaku kebaikan lainnya. Bisa saja mereka berada di dalam satu wilayah atau menyebar di berbagai penjuru bumi.
Barangkali kita bisa menyimpulkannya dengan mengutip ucapan al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah, “Yang dimaksud oleh al-Imam Ahmad rahimahullah di atas, ath-Thaifah al-Manshurah adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah serta orang-orang yang berakidah dengan akidah ahlul hadits.”
Dengan demikian, apakah bisa diterima, jika orang yang mengejek dan menghina para ulama yang menekuni bidang hadits, mengaku sebagai bagian dari ath-Thaifah al-Manshurah? Apakah pantas seseorang mengaku sebagai ath-Thaifah al-Manshurah sementara ia menyebut ulama Ahlus Sunnah dengan “ulama buatan pemerintah”, “ulama haid dan nifas”, “ilama yang tidak mengerti fiqhul waqi (fikih kekinian)”, “ulama yang kerjaannya hanya di masjid dengan haddatsana (telah menyampaikan kepada kami) dan akhbarana (telah mengabarkan kepada kami)”, dan “ulama yang tidak menghargai dan tidak peduli dengan darah kaum muslimin”?
Apakah pantas orang yang mencela ulama seperti ini untuk disebut sebagai ath-Thaifah al-Manshurah, kelompok yang ditolong Allah ‘azza wa jalla?
Ath-Thaifah Al-Manshurah dan Jihad Fi Sabilillah
Hadits-hadits ath-Thaifah al-Manshurah diangkat sebagai isu panas oleh kaum jihadiyin takfiriyin (sejumlah orang yang melakukan aksi kekerasan, anarki, brutal, dan membabi buta dengan mengatasnamakan jihad fi sabilillah) untuk melegitimasi dan membenarkan aksi-aksi “jihad”. Mereka menukil hadits-hadits tentang ath-Thaifah al-Manshurah.
Namun, apakah mereka benar-benar mengamalkan hadits-hadits tersebut secara kaffah? Ataukah hanya sepenggalsepenggal saja?
Memang benar! Beberapa lafadz dan riwayat hadits menyebutkan bahwa salah satu ciri ath-Thaifah al-Manshurah adalah berperang dan berjihad di jalan Allah ‘azza wa jalla. Hal ini memang benar. Salah satunya adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu riwayat Muslim (no. 156). Akan tetapi, kita perlu secara tenang, cermat, dan jujur, mengajukan beberapa pertanyaan sederhana berikut ini.
Salah satu ciri ath-Thaifah al-Manshurah adalah berperang dan berjihad. Namun, jihad dengan pemahaman siapa? Jihad di bawah bendera siapa? Di setiap saat ataukah pada kondisi-kondisi tertentu? Siapakah yang menjadi objek atau sasaran perang dan jihad? Di setiap tempat ataukah di lokasi-lokasi tertentu saja? Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang mesti terjawab sebelum berteriak-teriak “jihad”.
Jihad fi sabilillah adalah ibadah suci. Maka dari itu, pantas saja jika ciri ini disematkan untuk ath-Thaifah al-Manshurah. Namun, ingatlah kembali arahan dan bimbingan para ulama. Jihad fi sabilillah pun mesti dilandasi dengan ilmu, berdasarkan pemahaman Ahlus Sunnah dan Ahlul Hadits. Lihat saja sejarah Ahlul Hadits! Mereka pun tercatat sebagai kaum mujahidin. Mereka mengalirkan tinta dan darah demi agama Islam.
Jihad fi sabilillah tidak dilakukan dengan sembarangan, serampangan, asal-asalan, emosional, dan ngawur. Jihad fi sabilillah memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Wallahi wa billahi wa tallahi, seandainya jihad syar’i ditegakkan, engkau wahai para pencela Salafiyyin, akan menyaksikan betapa kecil dan kerdilnya dirimu. Engkau akan melihat singa-singa Allah ‘azza wa jalla berada di barisan terdepan. Engkau baru akan tersadar, ternyata dirimu tak bisa dibandingkan sedikit pun dengan Salafiyyin. Sebab, mereka tegak berdiri di atas ilmu. (Tentang jihad fi sabilillah, silahkan Anda membaca kembali Asy-Syari’ah pada edisi-edisi sebelumnya)
Pembuktian, Bukan Pengakuan!
Pasukan Panji Hitam, kelompok al-Jihad, organisasi al-Qaeda, atau apa pun namanya, bisa saja mereka menganggap dirinya sebagai bagian dari ath-Thaifah al-Manshurah. Untuk urusan mengaku-aku, siapa pun bisa melakukannya. Klaim dan mengklaim juga dapat dilakukan oleh setiap orang. Akan tetapi, apakah cukup sampai di situ saja?
Tidak! Semuanya menuntut pembuktian!
Kaum Yahudi dan Nasrani juga mengklaim bahwa merekalah penduduk surga. Benarkah demikian? Allah ‘azza wa jalla berfirman,
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, “Tunjukkan kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (al-Baqarah: 111)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma riwayat al-Bukhari dan Muslim, “Seandainya setiap orang diiyakan sesuai dengan pengakuannya, tentu setiap orang akan mengklaim darah dan harta orang lain. Akan tetapi, sumpah merupakan hak orang yang diklaim.”
“Hadits ini adalah kaidah besar di dalam kaidah-kaidah hukum syar’i. Kaidah ini menyebutkan bahwa klaim seseorang tidak bisa diterima begitu saja. Akan tetapi, butuh pembuktian atau pembenaran dari pihak yang diklaim.”
Bagi siapa saja yang mengaku dirinya sebagai bagian dari ath-Thaifah al-Manshurah, marilah mengukur dan menakar dirinya dengan sebuah jawaban dari asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berikut ini (Irsyadul Bariyyah hlm. 34—35), “As-Salafiyyah adalah al-Firqatun Najiyah. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka bukanlah hizb seperti yang sekarang ini terjadi dan disebut dengan hizb. Mereka adalah jamaah. Bersama-sama di atas as-Sunnah dan agama. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Pasti akan selalu ada, sekelompok orang dari umatku yang senantiasa meraih kemenangan di atas kebenaran. Tidak akan bermudarat atas mereka setiap usaha dari orang-orang yang menghina dan menyelisihi mereka.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Umat ini akan terpecah menjadi 73 kelompok. Semuanya di dalam neraka kecuali satu.’ Para sahabat bertanya, ‘Siapakah mereka, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Orang-orang yang mengikuti aku dan para sahabatku seperti saat ini’.”
Asy-Syaikh al-Fauzan melanjutkan, “As-Salafiyyah adalah sejumlah orang yang berada di atas mazhab Salaf, sebagaimana ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Jadi, as-Salafiyyah bukanlah hizb seperti hizb-hizb zaman ini. As-Salafiyyah adalah jamaah yang telah ada sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, turun-temurun dan akan selalu hidup. Mereka akan terus berada di atas alhaq, meraih kemenangan sampai hari kiamat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Benarkah Anda telah mencontoh dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabat beliau dalam segala hal? Buktikanlah!
Wallahul Muwaffiq.
0 comments:
Post a Comment