222SEKELUMIT GAMBARAN SUMBANGSIH ARAB SAUDI UNTUK DUNIA
Oleh: Ustadz Qomar Z.A, Lc
Selain teroris yang juga sangat membenci Arab Saudi adalah orang-orang sekuler dan liberal. Mereka sering menuduh dengan dusta atau dengan penilaian yang tidak adil. Mereka sangat ceroboh dalam menuduh, hanya karena di dalam kitab-kitab syaikh tersebutkan hukum-hukum tentang pengafiran lantas demikian saja menuduh syaikh sebagai orang yang mudah mengafirkan. Padahal tuduhan pengafiran bukanlah perkara yang mudah. Bahkan hukum Islam punya aturan yang rinci dalam menjatuhkan vonis ini.
Terhadap seorang kafir pun, Islam memiliki perincian hukumnya. Tidak lantas dengan sekedar menyandang kekafiran seseorang dengan mudah ditumpahkan darahnya. Tidak demikian. Seandainya seluruh orang kafir harus dibunuh maka tentu tidak akan ada aturan yang berkaitan dengan kafir dzimmi. Padahal pada kenyataannya ada orang-orang kafir yang tidak melakukan penyerangan terhadap kaum muslimin tetap diizinkan hidup dan tinggal di negeri muslim dengan syarat-syarat tertentu. Inilah yang disebut dengan kafir dzimmi. Keamanan mereka dijaga oleh negara.
Demikianlah, Kerajaan Arab Saudi adalah sebuah negeri Islam. Undang-undang Dasarnya adalah Al Quran dan As Sunnah. Mereka membenci terorisme sebagaimana Islam membenci terorisme. Mereka menegakkan tauhid sebagaimana Islam adalah agama tauhid. Sumbangsih Kerajaan Arab Saudi terhadap penegakkan akidah Islam sedemikian besarnya. Kebencian mereka kepada terorisme muncul dari landasan yang paling asasi, karena terorisme adalah penyimpangan terhadap akidah Islam yang memiliki wajah humanis.
Berlembar-lembar halaman mungkin jika dituliskan seluruh sumbangsih Kerajaan Arab Saudi untuk Islam, kaum muslimin, bahkan untuk kemanusiaan secara umum di seluruh penjuru dunia. Bagi orang-orang yang jujur dan adil dalam menilai tentu bukan hal yang sulit untuk menemukan bukti-bukti itu. Semoga kaum muslimin mendapatkan hidayah sehingga dapat jernih dalam mendudukkan perkara dan jujur dalam bersikap. Sesungguhnya dikhawatirkan ketika mereka membenci negeri tauhid, sadar atau tidak sadar mereka akan terjerumus dalam membenci Islam itu sendiri. Wallahu musta’an.
Dalam hal dakwah, keberadaan Jamiah Al Islamiyyah (Universitas Islam Madinah) merupakan bukti nyata yang tak bisa dimungkiri atas sumbangsih Kerajaan Arab Saudi untuk Islam dan kaum muslimin di seluruh dunia. Sejak berdirinya hingga sekarang sudah ribuan mahasiswa muslim dari seluruh penjuru dunia yang mendapatkan beasiswa. Bukan hanya bebas biaya pendidikannya bahkan setiap bulannya mereka mendapat dana untuk membeli kitab dan kebutuhan sehari-hari lainnya yang jika dirupiahkan bukan terbilang sedikit. Belum lagi, pada saat liburan pun mereka diberi kesempatan untuk pulang ke daerah masing-masing yang dijamin biaya transportasinya pulang pergi. Bayangkan jika diuangkan berapa milyar dolar yang telah dikeluarkan Kerajaan Arab Saudi demi tegaknya Universitas diniyyah yang bergengsi ini. Sungguh tidak bisa dimengerti jika ada yang sarjana-sarjana diniyyah lulusannya kemudian justru membenci pemerintah Arab Saudi. Fenomena manusia yang tiada syukur akan berbagai nikmat yang telah mereka dapatkan.
Dalam penyelenggaraan haji, jika hanya memperhatikan ini saja, mestinya kaum muslimin di seluruh dunia sudah harus berterima kasih dan merasa berhutang budi kepada Kerajaan Arab Saudi. Berapa juta jamaah haji setiap tahunnya dari seluruh pejuru dunia yang telah mereka layani. Kenyamanan dan keamanan yang luar biasa selama ibadah haji dirasakan jamaah haji. Upaya yang luar biasa demi kelancaran dan kenyamanan ibadah haji mereka lakukan tanpa pamrih tanpa berharap bayaran dari negara-negara asal jamaah. Mereka menyediakan fasilitas – fasilitas tanpa memungut biaya. Adapun keuntungan dari hasil sewa hotel / penginapan atau produk-produk makanan serta souvenir kembali kepada person-person para pengusaha tidak masuk kas negara karena pemerintah Saudi tidak mengenal perpajakan.
Berapa besarnya biaya dan pekerja yang telah mereka kerahkan untuk kaum muslimin selama penyelenggaran haji? Hampir tak terhitung. Bahkan menjadi syiar mereka merasa bangga melayani ibadah ibadah haji kaum muslimin seluruh dunia.
Pada setiap kesempatan ibadah haji, pemerintah Saudi selalu membagikan buku bimbingan haji secara gratis. Berapa biaya yang telah mereka belanjakan untuk mencetak jutaan eksemplar buku ini? Hanya saja sangat disayangkan buku ini banyak yang dibuang karena hasutan dan isu tentang wahabi. Sangat disayangkan ketika ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab selalu memberi peringatan kepada jamaah haji Indonesia agar tidak menerima buku-buku yang dibagikan gratis ini. Yang mereka lakukan ini bisa jadi terhitung sebagai upaya untuk menjauhkan orang untuk mendapat bimbingan ilmu yang berdasarkan Al Quran dan hadis. Sungguh ironi sebuah upaya yang dapat menjauhkan manusia dari dakwah Islam.
Sumbangsih yang lain dapat kita lihat bagaimana perhatian Kerajaan Arab Saudi terhadap negeri-negeri Islam. Banyak orang yang menyangka Arab Saudi tidak memiliki peran terhadap Palestina. Entah mengapa kantor-kantor berita tidak memberitakan kebaikan-kebaikan Arab Saudi kepada Palestina. Padahal Kerajaan Arab Saudi sejak pemerintahan Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman sangat memiliki perhatian terhadap Palestina dan telah melakukan banyak hal. Persaksian atas ini muncul dari salah seorang warga Palestina sendiri.
Sebuah tulisan yang ditulis di Jamiah Islamiyah di Gazza oleh Mustofa Syaain, Asisten Profesor di bidang tarikh, dan Abdul Hamid Jamal Al Harrani Ketua Bagian Tarikh, tentang upaya Saudi terhadap konflik Palestina telah menjadi saksi atas itu semua. Dalam buku itu, penulis menyebutkan sebagai berikut, “Kerajaan Arab Saudi dari Raja, pemerintahan, dan rakyatnya telah melakukan pengorbanan yang tidak kecil dalam upayanya yang sangat besar demi membela rakyat Palestina. Dan bantuan itu berdasarkan keimanan yang diyakini sebagai pelaksaan syariat. Kerajaan Arab Sadi telah menyumbangkan materi maupun personel perang bersama tentara mesir melawan kafir Yahudi. “
Raja Faishal bin Abdul Aziz pun pernah berpidato bicara di depan para pimpinan negara Islam menunjukkan betapa empati yang beliau miliki untuk Palestina, “Telah dilakukan berbagai usaha untuk segera menyelesaikan masalah Palestina termasuk menghubungi negara-negara besar. Akan tetapi sampai hari ini upaya ini tidak menampakkan hasil. Oleh karena itu, mulai saat ini maka kami serukan jihad bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk melawan Yahudi. Maka tidak ada jalan lain untuk membela rakyat Palestina kecuali dengan jihad fi sabilillah. Dan jika Allah belum mengabulkan seruan jihad ini, maka semoga Allah mewafatkanku dalam waktu dekat.” Maka dengan hikmah-Nya kemudian Allah belum mewujudkan seruan jihad tersebut. Dan Allah mewafatkan beliau tidak lama setelah itu. Beliau ditembak mati . Semoga Allah merahmati beliau.
Di Afghanistan, ketika kaum muslimin di sana berperang melawan pasukan kafir Uni Soviet, maka pemerintah, ulama, dan rakyat Arab Saudi pun sangat bersemangat untuk ikut berperang. Ketika itu banyak dari rakyat dan dosen-dosen Jamiah Islamiyah yang mengikuti jihad tersebut termasuk Syaikh Rabi’ Hafizhahullah. Akan tetapi, sayang sekali beberapa rakyat Arab Saudi telah dirusak oleh tokoh-tokoh hizbiyyun (sempalan islam) di sana. Sehingga sepulang dari Afgahnistan mereka membenci Arab Saudi hingga melakukan peledakan dan mengafirkan ulama dan pemerintahnya.
Demikian pula terhadap kaum muslimin di Bosnia. Sejumlah besar bantuan mereka kerahkan untuk membantu saudara seiman yang sedang dizhalimi oleh musuh-musuhnya. Inilah sekelumit data, sekadar untuk mengingatkan betapa besar bantuan Arab Saudi kepada Islam dan kaum muslimin.
Belum lama ini ada seorang penulis, menulis persaksian tentang data kebaikan Arab Saudi yang ia peroleh saat mendampingi kunjungan resmi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin atas undangan Menteri Urusan Islam Arab Saudi al-Syeikh Shaleh bin Abdul Aziz Ali al-Syeikh ke Arab Saudi pada 15-20 Maret 2015, terutama saat mengunjungi Sultan bin Abdul Aziz Humanitarian City (SBAHC) di Riyadh.
Ia mengatakan, “SBAHC tidak saja memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk berkebutuhan khusus, tetapi juga memberikan perumahan gratis kepada penduduk tak mampu, mengembangkan pendidikan dan berbagai program pemberdayaan lain yang tidak saja di Saudi, tetapi juga di luar negeri, termasuk Indonesia.” Salah satu contoh dari kerja filantropis Sultan adalah pembiayaan perlombaan menghafal Al Quran dan Hadis Nabi di Indonesia sejak 2006 hingga kini yang menelan biaya miliaran rupiah.
Tahun ini perlombaan ke-7 pada 22- 26 Maret 2015 yang juga dihadiri Pangeran Khalid bin Sulthan dan Menteri Urusan Islam al-Syeikh Shaleh bin Abdul Aziz Ali al-Syeikh yang secara riil dapat mendorong muda-mudi Muslim Indonesia berlomba menghafal Al Quran dan Hadis Nabi. Tentu banyak lagi data yang menyinggung kontribusi Saudi terhadap kemanusiaan internasional.
Dalam sebuah riset Saudi Arabia as a Humanitarian Donor: High Potential, Little Institutionalization yang ditulis Khalid al-Yahya dan Nathalie Fustier, negara kerajaan ini merupakan negara donor bantuan kemanusiaan terbesar di dunia dan anggota OECD Development Assistance Committee.
Demikian juga dengan gempa di Haiti 2010, Saudi menyumbang 50 juta dolar bagi dana penanggulangan darurat. Pada 2008, Saudi menyediakan dana segar senilai 500 juta dolar untuk Program Pangan Dunia dan dicatat sebagai kontribusi terbesar sejarah organisasi ini.
Menurut situs Humanitarian News and Analysis (IRIN), Saudi menyumbang 70 persen dari donasi yang diperlukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menangani pengungsi konflik Irak sebesar 500 juta dolar dan menjadikan Saudi sebagai donator terbesar keempat setelah AS, Uni Eropa, dan Inggris (www.irin- news.org, 17/09/2014).
Bahkan, studi oleh Bank Dunia, Saudi merupakan salah satu negara paling dermawan di dunia kepada negara-negara berkembang, khususnya pada program Official Development Assistance (ODA) sepanjang 1973-2010 dengan mendanai 472 proyek di 77 negara (43 Afrika, 27 Asia, dan 7 negara lain).
Pada 2013, Saudi mendonasikan 109 juta dolar untuk program kedaruratan kemanusiaan PBB dan banyak lagi bantuan kemanusiaan di bawah payung Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang dikeluarkan Saudi, seperti 50 juta dolar untuk kemanusiaan di Irak (2014) dan menjanjikan bantuan 500 juta dolar bagi kemanusiaan Irak melalui PBB.
Hal serupa juga pada 2014, Saudi mendonasikan SR 1,8 miliar untuk proyek-proyek PBB di Irak, SR 750 juta kepada pengungsi Suriah, dan SR 1,8 miliar bagi proyek rekonstruksi Gaza (Arabnews). Kedermawanan Saudi jauh mengungguli Barat, apalagi bila disertakan sumbangsih partikelir dan volunteer rakyatnya yang tidak bisa didata.
Ada dua faktor utama ekspose aspek humanisme Saudi ini terjadi. Pertama, kecenderungan sebagian media yang terjebak dalam kampanye terorisme Barat, seolah radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme itu dari Wahabisme dengan tujuan politis, ekonomis, bahkan ideologis. Anggapan ini tentu keliru, bahkan Saudi menjadi salah satu negara Timur Tengah yang paling keras perlawanannya terhadap radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme.
Kedua, ikhlas tanpa publikasi. Keinginan sengaja pihak Saudi untuk tidak memublikasikan bantuan karena ajaran agama yang tak menganjurkan publikasi kebajikan yang telah diberikan.
Salah satu contoh keengganan Saudi memublikasikan bantuan adalah penuturan seorang sumber di Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta kepada penulis baru-baru ini. Saudi memberikan bantuan pengobatan terhadap almarhum KH Sahal Mahfudz, tokoh Nahdlatul Ulama (NU)–yang sebagian tokohnya kerap menghujat Wahabisme sebagai ideologi berbahaya dan transnasional.
Ketika almarhum sakit, Saudi menawarkan tiga hal kepada beliau, yaitu berobat ke Saudi, berobat ke rumah sakit mana saja di dunia, atau berobat di rumah sakit Indonesia yang semua pembiayaannya ditanggung pihak kerajaan. Dengan berbagai pertimbangan, almarhum memilih opsi ketiga di mana seluruh pengobatan selama sakit ditanggung Kerajaan Saudi. Cerita ini belum pernah diungkap kecuali setelah beliau wafat dan itu pun kepada kalangan terbatas. Bisa jadi almarhum bukan satu-satunya orang di Indonesia yang mendapatkan kebajikan `tanpa pamrih’ Saudi.
Namun, data dan fakta kedermawanan dan humanisme Saudi belum dapat memalingkan persepsi umum dunia dan Indonesia secara khusus dari stigmatisasi terhadap negeri bak `sinterklas’ ini. Saudi masih didesain dan diidentifikasi sarang gerakan transnasional (Wahabisme) yang seakan mengancam NKRI.
Padahal, sejarah Indonesia yang memiliki jalinan erat dengan negeri ini jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia hingga sekarang belum menyaksikan pengaruh negatif relasi ini, bahkan justru sangat positif. Hal itu tidak sebanding jika dikomparasi dengan pengaruh ideologi Iran, misalnya, yang menyebar secara clandestine. Cukup pengalaman pahit konflik horizontal Irak, Suriah, dan sekarang Yaman menjadi contoh konkret potensi ancaman ideologi yang dapat mengoyak kedamaian ibu pertiwi.
Saatnya Saudi menjadikan aspek humanisme dan filantropisnya sebagai strategi soft power demi keberlangsungan pembangunan, keadilan, dan kedamaian. Realita humanisme Saudi berlanjut walau tanpa peliputan masif media, mengungguli humanisme Barat yang cenderung lebai dan penuh agenda. Fakta dan data berbicara lebih kuat dan humanisme Saudi bukan basa-basi. “ (Dikutip dari Republika.co.id, Saturday, 28 March 2015, 15:13 WIB).
Sumber: Majalah Qudwah Edisi 30 Vol. 3 1436H/2015M
Oleh: Ustadz Qomar Z.A, Lc
Selain teroris yang juga sangat membenci Arab Saudi adalah orang-orang sekuler dan liberal. Mereka sering menuduh dengan dusta atau dengan penilaian yang tidak adil. Mereka sangat ceroboh dalam menuduh, hanya karena di dalam kitab-kitab syaikh tersebutkan hukum-hukum tentang pengafiran lantas demikian saja menuduh syaikh sebagai orang yang mudah mengafirkan. Padahal tuduhan pengafiran bukanlah perkara yang mudah. Bahkan hukum Islam punya aturan yang rinci dalam menjatuhkan vonis ini.
Terhadap seorang kafir pun, Islam memiliki perincian hukumnya. Tidak lantas dengan sekedar menyandang kekafiran seseorang dengan mudah ditumpahkan darahnya. Tidak demikian. Seandainya seluruh orang kafir harus dibunuh maka tentu tidak akan ada aturan yang berkaitan dengan kafir dzimmi. Padahal pada kenyataannya ada orang-orang kafir yang tidak melakukan penyerangan terhadap kaum muslimin tetap diizinkan hidup dan tinggal di negeri muslim dengan syarat-syarat tertentu. Inilah yang disebut dengan kafir dzimmi. Keamanan mereka dijaga oleh negara.
Demikianlah, Kerajaan Arab Saudi adalah sebuah negeri Islam. Undang-undang Dasarnya adalah Al Quran dan As Sunnah. Mereka membenci terorisme sebagaimana Islam membenci terorisme. Mereka menegakkan tauhid sebagaimana Islam adalah agama tauhid. Sumbangsih Kerajaan Arab Saudi terhadap penegakkan akidah Islam sedemikian besarnya. Kebencian mereka kepada terorisme muncul dari landasan yang paling asasi, karena terorisme adalah penyimpangan terhadap akidah Islam yang memiliki wajah humanis.
Berlembar-lembar halaman mungkin jika dituliskan seluruh sumbangsih Kerajaan Arab Saudi untuk Islam, kaum muslimin, bahkan untuk kemanusiaan secara umum di seluruh penjuru dunia. Bagi orang-orang yang jujur dan adil dalam menilai tentu bukan hal yang sulit untuk menemukan bukti-bukti itu. Semoga kaum muslimin mendapatkan hidayah sehingga dapat jernih dalam mendudukkan perkara dan jujur dalam bersikap. Sesungguhnya dikhawatirkan ketika mereka membenci negeri tauhid, sadar atau tidak sadar mereka akan terjerumus dalam membenci Islam itu sendiri. Wallahu musta’an.
Dalam hal dakwah, keberadaan Jamiah Al Islamiyyah (Universitas Islam Madinah) merupakan bukti nyata yang tak bisa dimungkiri atas sumbangsih Kerajaan Arab Saudi untuk Islam dan kaum muslimin di seluruh dunia. Sejak berdirinya hingga sekarang sudah ribuan mahasiswa muslim dari seluruh penjuru dunia yang mendapatkan beasiswa. Bukan hanya bebas biaya pendidikannya bahkan setiap bulannya mereka mendapat dana untuk membeli kitab dan kebutuhan sehari-hari lainnya yang jika dirupiahkan bukan terbilang sedikit. Belum lagi, pada saat liburan pun mereka diberi kesempatan untuk pulang ke daerah masing-masing yang dijamin biaya transportasinya pulang pergi. Bayangkan jika diuangkan berapa milyar dolar yang telah dikeluarkan Kerajaan Arab Saudi demi tegaknya Universitas diniyyah yang bergengsi ini. Sungguh tidak bisa dimengerti jika ada yang sarjana-sarjana diniyyah lulusannya kemudian justru membenci pemerintah Arab Saudi. Fenomena manusia yang tiada syukur akan berbagai nikmat yang telah mereka dapatkan.
Dalam penyelenggaraan haji, jika hanya memperhatikan ini saja, mestinya kaum muslimin di seluruh dunia sudah harus berterima kasih dan merasa berhutang budi kepada Kerajaan Arab Saudi. Berapa juta jamaah haji setiap tahunnya dari seluruh pejuru dunia yang telah mereka layani. Kenyamanan dan keamanan yang luar biasa selama ibadah haji dirasakan jamaah haji. Upaya yang luar biasa demi kelancaran dan kenyamanan ibadah haji mereka lakukan tanpa pamrih tanpa berharap bayaran dari negara-negara asal jamaah. Mereka menyediakan fasilitas – fasilitas tanpa memungut biaya. Adapun keuntungan dari hasil sewa hotel / penginapan atau produk-produk makanan serta souvenir kembali kepada person-person para pengusaha tidak masuk kas negara karena pemerintah Saudi tidak mengenal perpajakan.
Berapa besarnya biaya dan pekerja yang telah mereka kerahkan untuk kaum muslimin selama penyelenggaran haji? Hampir tak terhitung. Bahkan menjadi syiar mereka merasa bangga melayani ibadah ibadah haji kaum muslimin seluruh dunia.
Pada setiap kesempatan ibadah haji, pemerintah Saudi selalu membagikan buku bimbingan haji secara gratis. Berapa biaya yang telah mereka belanjakan untuk mencetak jutaan eksemplar buku ini? Hanya saja sangat disayangkan buku ini banyak yang dibuang karena hasutan dan isu tentang wahabi. Sangat disayangkan ketika ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab selalu memberi peringatan kepada jamaah haji Indonesia agar tidak menerima buku-buku yang dibagikan gratis ini. Yang mereka lakukan ini bisa jadi terhitung sebagai upaya untuk menjauhkan orang untuk mendapat bimbingan ilmu yang berdasarkan Al Quran dan hadis. Sungguh ironi sebuah upaya yang dapat menjauhkan manusia dari dakwah Islam.
Sumbangsih yang lain dapat kita lihat bagaimana perhatian Kerajaan Arab Saudi terhadap negeri-negeri Islam. Banyak orang yang menyangka Arab Saudi tidak memiliki peran terhadap Palestina. Entah mengapa kantor-kantor berita tidak memberitakan kebaikan-kebaikan Arab Saudi kepada Palestina. Padahal Kerajaan Arab Saudi sejak pemerintahan Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman sangat memiliki perhatian terhadap Palestina dan telah melakukan banyak hal. Persaksian atas ini muncul dari salah seorang warga Palestina sendiri.
Sebuah tulisan yang ditulis di Jamiah Islamiyah di Gazza oleh Mustofa Syaain, Asisten Profesor di bidang tarikh, dan Abdul Hamid Jamal Al Harrani Ketua Bagian Tarikh, tentang upaya Saudi terhadap konflik Palestina telah menjadi saksi atas itu semua. Dalam buku itu, penulis menyebutkan sebagai berikut, “Kerajaan Arab Saudi dari Raja, pemerintahan, dan rakyatnya telah melakukan pengorbanan yang tidak kecil dalam upayanya yang sangat besar demi membela rakyat Palestina. Dan bantuan itu berdasarkan keimanan yang diyakini sebagai pelaksaan syariat. Kerajaan Arab Sadi telah menyumbangkan materi maupun personel perang bersama tentara mesir melawan kafir Yahudi. “
Raja Faishal bin Abdul Aziz pun pernah berpidato bicara di depan para pimpinan negara Islam menunjukkan betapa empati yang beliau miliki untuk Palestina, “Telah dilakukan berbagai usaha untuk segera menyelesaikan masalah Palestina termasuk menghubungi negara-negara besar. Akan tetapi sampai hari ini upaya ini tidak menampakkan hasil. Oleh karena itu, mulai saat ini maka kami serukan jihad bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk melawan Yahudi. Maka tidak ada jalan lain untuk membela rakyat Palestina kecuali dengan jihad fi sabilillah. Dan jika Allah belum mengabulkan seruan jihad ini, maka semoga Allah mewafatkanku dalam waktu dekat.” Maka dengan hikmah-Nya kemudian Allah belum mewujudkan seruan jihad tersebut. Dan Allah mewafatkan beliau tidak lama setelah itu. Beliau ditembak mati . Semoga Allah merahmati beliau.
Di Afghanistan, ketika kaum muslimin di sana berperang melawan pasukan kafir Uni Soviet, maka pemerintah, ulama, dan rakyat Arab Saudi pun sangat bersemangat untuk ikut berperang. Ketika itu banyak dari rakyat dan dosen-dosen Jamiah Islamiyah yang mengikuti jihad tersebut termasuk Syaikh Rabi’ Hafizhahullah. Akan tetapi, sayang sekali beberapa rakyat Arab Saudi telah dirusak oleh tokoh-tokoh hizbiyyun (sempalan islam) di sana. Sehingga sepulang dari Afgahnistan mereka membenci Arab Saudi hingga melakukan peledakan dan mengafirkan ulama dan pemerintahnya.
Demikian pula terhadap kaum muslimin di Bosnia. Sejumlah besar bantuan mereka kerahkan untuk membantu saudara seiman yang sedang dizhalimi oleh musuh-musuhnya. Inilah sekelumit data, sekadar untuk mengingatkan betapa besar bantuan Arab Saudi kepada Islam dan kaum muslimin.
Belum lama ini ada seorang penulis, menulis persaksian tentang data kebaikan Arab Saudi yang ia peroleh saat mendampingi kunjungan resmi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin atas undangan Menteri Urusan Islam Arab Saudi al-Syeikh Shaleh bin Abdul Aziz Ali al-Syeikh ke Arab Saudi pada 15-20 Maret 2015, terutama saat mengunjungi Sultan bin Abdul Aziz Humanitarian City (SBAHC) di Riyadh.
Ia mengatakan, “SBAHC tidak saja memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk berkebutuhan khusus, tetapi juga memberikan perumahan gratis kepada penduduk tak mampu, mengembangkan pendidikan dan berbagai program pemberdayaan lain yang tidak saja di Saudi, tetapi juga di luar negeri, termasuk Indonesia.” Salah satu contoh dari kerja filantropis Sultan adalah pembiayaan perlombaan menghafal Al Quran dan Hadis Nabi di Indonesia sejak 2006 hingga kini yang menelan biaya miliaran rupiah.
Tahun ini perlombaan ke-7 pada 22- 26 Maret 2015 yang juga dihadiri Pangeran Khalid bin Sulthan dan Menteri Urusan Islam al-Syeikh Shaleh bin Abdul Aziz Ali al-Syeikh yang secara riil dapat mendorong muda-mudi Muslim Indonesia berlomba menghafal Al Quran dan Hadis Nabi. Tentu banyak lagi data yang menyinggung kontribusi Saudi terhadap kemanusiaan internasional.
Dalam sebuah riset Saudi Arabia as a Humanitarian Donor: High Potential, Little Institutionalization yang ditulis Khalid al-Yahya dan Nathalie Fustier, negara kerajaan ini merupakan negara donor bantuan kemanusiaan terbesar di dunia dan anggota OECD Development Assistance Committee.
Demikian juga dengan gempa di Haiti 2010, Saudi menyumbang 50 juta dolar bagi dana penanggulangan darurat. Pada 2008, Saudi menyediakan dana segar senilai 500 juta dolar untuk Program Pangan Dunia dan dicatat sebagai kontribusi terbesar sejarah organisasi ini.
Menurut situs Humanitarian News and Analysis (IRIN), Saudi menyumbang 70 persen dari donasi yang diperlukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menangani pengungsi konflik Irak sebesar 500 juta dolar dan menjadikan Saudi sebagai donator terbesar keempat setelah AS, Uni Eropa, dan Inggris (www.irin- news.org, 17/09/2014).
Bahkan, studi oleh Bank Dunia, Saudi merupakan salah satu negara paling dermawan di dunia kepada negara-negara berkembang, khususnya pada program Official Development Assistance (ODA) sepanjang 1973-2010 dengan mendanai 472 proyek di 77 negara (43 Afrika, 27 Asia, dan 7 negara lain).
Pada 2013, Saudi mendonasikan 109 juta dolar untuk program kedaruratan kemanusiaan PBB dan banyak lagi bantuan kemanusiaan di bawah payung Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang dikeluarkan Saudi, seperti 50 juta dolar untuk kemanusiaan di Irak (2014) dan menjanjikan bantuan 500 juta dolar bagi kemanusiaan Irak melalui PBB.
Hal serupa juga pada 2014, Saudi mendonasikan SR 1,8 miliar untuk proyek-proyek PBB di Irak, SR 750 juta kepada pengungsi Suriah, dan SR 1,8 miliar bagi proyek rekonstruksi Gaza (Arabnews). Kedermawanan Saudi jauh mengungguli Barat, apalagi bila disertakan sumbangsih partikelir dan volunteer rakyatnya yang tidak bisa didata.
Ada dua faktor utama ekspose aspek humanisme Saudi ini terjadi. Pertama, kecenderungan sebagian media yang terjebak dalam kampanye terorisme Barat, seolah radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme itu dari Wahabisme dengan tujuan politis, ekonomis, bahkan ideologis. Anggapan ini tentu keliru, bahkan Saudi menjadi salah satu negara Timur Tengah yang paling keras perlawanannya terhadap radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme.
Kedua, ikhlas tanpa publikasi. Keinginan sengaja pihak Saudi untuk tidak memublikasikan bantuan karena ajaran agama yang tak menganjurkan publikasi kebajikan yang telah diberikan.
Salah satu contoh keengganan Saudi memublikasikan bantuan adalah penuturan seorang sumber di Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta kepada penulis baru-baru ini. Saudi memberikan bantuan pengobatan terhadap almarhum KH Sahal Mahfudz, tokoh Nahdlatul Ulama (NU)–yang sebagian tokohnya kerap menghujat Wahabisme sebagai ideologi berbahaya dan transnasional.
Ketika almarhum sakit, Saudi menawarkan tiga hal kepada beliau, yaitu berobat ke Saudi, berobat ke rumah sakit mana saja di dunia, atau berobat di rumah sakit Indonesia yang semua pembiayaannya ditanggung pihak kerajaan. Dengan berbagai pertimbangan, almarhum memilih opsi ketiga di mana seluruh pengobatan selama sakit ditanggung Kerajaan Saudi. Cerita ini belum pernah diungkap kecuali setelah beliau wafat dan itu pun kepada kalangan terbatas. Bisa jadi almarhum bukan satu-satunya orang di Indonesia yang mendapatkan kebajikan `tanpa pamrih’ Saudi.
Namun, data dan fakta kedermawanan dan humanisme Saudi belum dapat memalingkan persepsi umum dunia dan Indonesia secara khusus dari stigmatisasi terhadap negeri bak `sinterklas’ ini. Saudi masih didesain dan diidentifikasi sarang gerakan transnasional (Wahabisme) yang seakan mengancam NKRI.
Padahal, sejarah Indonesia yang memiliki jalinan erat dengan negeri ini jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia hingga sekarang belum menyaksikan pengaruh negatif relasi ini, bahkan justru sangat positif. Hal itu tidak sebanding jika dikomparasi dengan pengaruh ideologi Iran, misalnya, yang menyebar secara clandestine. Cukup pengalaman pahit konflik horizontal Irak, Suriah, dan sekarang Yaman menjadi contoh konkret potensi ancaman ideologi yang dapat mengoyak kedamaian ibu pertiwi.
Saatnya Saudi menjadikan aspek humanisme dan filantropisnya sebagai strategi soft power demi keberlangsungan pembangunan, keadilan, dan kedamaian. Realita humanisme Saudi berlanjut walau tanpa peliputan masif media, mengungguli humanisme Barat yang cenderung lebai dan penuh agenda. Fakta dan data berbicara lebih kuat dan humanisme Saudi bukan basa-basi. “ (Dikutip dari Republika.co.id, Saturday, 28 March 2015, 15:13 WIB).
Sumber: Majalah Qudwah Edisi 30 Vol. 3 1436H/2015M
0 comments:
Post a Comment